tiada tara dan
perantara
Kisah
wayang Nusantara versi trah yang sedang kontrak politik. Masih ingat dalam
ingatan anak bangsa pribumi penggemar wayang purwa,
bahwasanya dewi Tara karena kedewiannya, menjadikan lema ‘tara’ dipakai manusia. Nyaris semua kamus menyebutkannya.
Berbasis
lema ‘tara’ menghasilkan lema ‘antara’ (lebih dikenal dengan LKBN). Karena lema
‘tara’ berarti banding, tanding, sanding. Muncul lema ‘sementara’, ‘perantara’,
‘tentara’, ‘kentara’ dan selanjutnya yang masih banyak berkeliaran di lidah
masyarakat. Memang ada beberapa yang terasa tidak layak dengan lidah rakyat.
Bukan salah
satunya. Yang ini, peran+antara menjadi perantara. Bukannya ikut salah satu
koalisi yang berseteru, yaitu koalisi pro-pemerintah vs koalisi pro-rakyat.
Wajar dalam
dunia pewayangan. Petutur tak akan kehabisan tokoh wayang. Jika yang baku sudah
habis, dimunculkan tokoh rekayasa. Biasanya jelmaan atau penyamaran. Nama tokoh
dimaksud biasanya akrab dengan telinga penduduk karena turun-temurun.
Di atas
petutur kisah wayang, masih ada ahli yang lebih ahli. Terlebih ketika Nusantara
membuka diri terhadap masuknya dan masukan yang serba asing. Mulai bumbu dapur
sampai teman tidur.
Irinis
binti miris. Karena merasa tiada tara, tak heran oknum anak bangsa pribumi
merasa bisa mengembang berhala reformasi 3K (kuasa, kaya, kuat) sesui dengan
tarafnya.
Walhasil,
ge-tara-n politik sebagai pratanda bencana politik lokal, regional dan bisa
sampai strata nasional. Akhirnya, belantara politik menjadi palagan antara
batara Sengkuni dengan sengkuni yang lain. Salah, Sengkuni di kerajaan Astina. Bukan
di Khayangan.
Demikian,
yang bisa saya u-tara-kan. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar