Halaman

Kamis, 17 Mei 2018

tiada tara dan perantara


tiada tara dan perantara

Kisah wayang Nusantara versi trah yang sedang kontrak politik. Masih ingat dalam ingatan anak bangsa pribumi penggemar wayang purwa, bahwasanya dewi Tara karena kedewiannya, menjadikan lema ‘tara’ dipakai manusia. Nyaris semua kamus menyebutkannya.

Berbasis lema ‘tara’ menghasilkan lema ‘antara’ (lebih dikenal dengan LKBN). Karena lema ‘tara’ berarti banding, tanding, sanding. Muncul lema ‘sementara’, ‘perantara’, ‘tentara’, ‘kentara’ dan selanjutnya yang masih banyak berkeliaran di lidah masyarakat. Memang ada beberapa yang  terasa tidak layak dengan lidah rakyat.

Bukan salah satunya. Yang ini, peran+antara menjadi perantara. Bukannya ikut salah satu koalisi yang berseteru, yaitu koalisi pro-pemerintah vs koalisi pro-rakyat.

Wajar dalam dunia pewayangan. Petutur tak akan kehabisan tokoh wayang. Jika yang baku sudah habis, dimunculkan tokoh rekayasa. Biasanya jelmaan atau penyamaran. Nama tokoh dimaksud biasanya akrab dengan telinga penduduk karena turun-temurun.

Di atas petutur kisah wayang, masih ada ahli yang lebih ahli. Terlebih ketika Nusantara membuka diri terhadap masuknya dan masukan yang serba asing. Mulai bumbu dapur sampai teman tidur.

Irinis binti miris. Karena merasa tiada tara, tak heran oknum anak bangsa pribumi merasa bisa mengembang berhala reformasi 3K (kuasa, kaya, kuat) sesui dengan tarafnya.

Walhasil, ge-tara-n politik sebagai pratanda bencana politik lokal, regional dan bisa sampai strata nasional. Akhirnya, belantara politik menjadi palagan antara batara Sengkuni dengan sengkuni yang lain. Salah, Sengkuni di kerajaan Astina. Bukan di Khayangan.

Demikian, yang bisa saya u-tara-kan. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar