konflik
internal penguasa, intimidasi politik vs teror mental
Konon, dagelan politik di
Nusantara sudah klimaks. Perseteruan antara kubu #Jokowi 2 periode dengan kubu
#2019 ganti presiden, semakin menggelikan. Bisa kita simak pamer bego liwat
ujaran tertulis di media sosial atau alat peraga lainnya.
Rakyat hanya tertawa getir. Tak
bisa komen atau berujar apapun. Seperti menyaksikan kucing heboh minta kawin.
Kejar-kejaran di sembarang tempat dan bebas waktu. Tak kenal malu. Obat
mujarabnya hanya dengan disiram air.
Amat sangat disayangkan jika ada
komponen anak bangsa pribumi, yang masih ingusan, bau kencur, dengan perkasa
berujar di media sosial.
Sebagai contoh, penulis membuka
facebook. Kalimat atau kata serta lambang ujaran, menunjukkan isi perut. Jauh
dari pasal makan bangku sekolah. Menimba ilmu dan terutama malah pada ahli
memancing kerusuhan di air keruh.
Bahkan rakyat yang menyandang
gelar akademis program strata, tampak berjuang bela seseorang tanpa peduli
kata. Miris juga. Tak terbayang manusia macam ini kalau berkuasa, apa jadinya
Pancasila.
Wajar, banyak elemen masyarakat
seperti tersihir, terkontaminasi untuk muncuk di permukaan. Bukti demokrasi. Bukti
bebas mengeluarkan daya akal, memamerkan gaya ucap maupun memperagakan lagak
tindak.
Suasana kebatinan rakyat seperti
di pasar lelang. Saling hardik, caci maki, bentak menjadi bumbu utama.
Mempromosikan produknya secara membabi buta. Ironis binti miris, telinganya saja tak percaya dengan
hujatan, ujaran, jilatan, cuapan yang
muncul dari mulutnya.
Belum lagi pasal no free lunch. Dominan memilih tètèk daripada bengèk. Akhirnya mereka baru sadar dan
berguman, “tiwas dandan”.[HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar