Halaman

Rabu, 30 Mei 2018

dilema kursi goyang, perilaku pamer vs pamer perilaku


dilema kursi goyang, perilaku pamer vs pamer perilaku

Bahasa awam, kalau digoyang, artinya digerakkan ke kanan dan ke kiri. Dilakukan secara berulang, goyang kanan, goyang kiri. Seperti kepala digoyang sendiri. Geleng ke kanan, jeleng ke kiri. Kalau digoyang ke depan dan ke belakang.

Lema ‘goyang’ belum bisa dibakukan, karena bersifat dinamis. Rentan, riskan, peka, sensitif. Sedikit goyangan, dampak, efeknya susah diprediksi. Bisa mengkacaubalaukan rencana.

Maknanya akan lebih bernas, masif jika dipakai untuk lema yang lain. Istilahnya dipadupadankan. Misal, badak gèdèg. Untuk binatang yang pas, hanya untu ‘jaran goyang’. Terkait dengan dunia bebas gaul, muncul fenomena moyang atau mobil goyang.

Simbol orang yang sudah sukses dunia, dengan tenang duduk manis di kursi goyang. Menghadapi sisa umur dan cadangan waktu. Sejak pagi duduk dengan santai di kursi goyang, di teras depan. Sambil menikmati lalu lalang manusia yang sibuk dengan urusan dunia.

Kursi goyang bisa menjadi simbol negara. Tampak lebih berwibawa, merakyat daripada duduk di singgasana.

Si penduduk, atau orang yang duduk di kursi goyang, tidak perlu mengangguk tanda setuju. Lihat arah goyangan. Belajar dari sejarah pasca Proklamasi, maka kursi goyang dimodifikasi menjadi tandu.

Acara utama dipakai untuk blusukan, kunjungan kerja, turun ke bawah, sidak ke pasar tradisional,  turun ke gorong-gorong atau ikut sibuk ayunan cangkul pertama pertanda NKRI swasembada beras. Acara yang dianggapnya berklas, saat rapat dengar pendapat dengan relawan, bolo dw, konco dw, loyalis tulèn.

Menghadapi periode kedua, semua parpol pendukungnya dijadikan satu partai besar. Dengan lambang ‘kursi goyang’.  Warna kursi sesuai aslinya. Warna kayu. Atau bisa juga warna merah. Maunya, warna kursi putih, polos. Warna bendera merah menantang.

Yèl-yèl bukan diimbangi dengan acungkan tinju ke langit. Cukup dengan mantuk-mantuk.  [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar