dilema kursi
goyang, perilaku pamer vs pamer perilaku
Bahasa awam, kalau digoyang, artinya digerakkan ke kanan
dan ke kiri. Dilakukan secara berulang, goyang kanan, goyang kiri. Seperti kepala
digoyang sendiri. Geleng ke kanan, jeleng ke kiri. Kalau digoyang ke depan dan
ke belakang.
Lema ‘goyang’ belum bisa dibakukan, karena bersifat
dinamis. Rentan, riskan, peka, sensitif. Sedikit goyangan, dampak, efeknya
susah diprediksi. Bisa mengkacaubalaukan rencana.
Maknanya akan lebih bernas, masif jika dipakai untuk lema
yang lain. Istilahnya dipadupadankan. Misal, badak gèdèg. Untuk binatang yang pas, hanya untu ‘jaran goyang’. Terkait dengan dunia
bebas gaul, muncul fenomena moyang atau mobil goyang.
Simbol orang yang sudah sukses dunia, dengan tenang duduk
manis di kursi goyang. Menghadapi sisa umur dan cadangan waktu. Sejak pagi
duduk dengan santai di kursi goyang, di teras depan. Sambil menikmati lalu
lalang manusia yang sibuk dengan urusan dunia.
Kursi goyang bisa menjadi simbol negara. Tampak lebih berwibawa,
merakyat daripada duduk di singgasana.
Si penduduk, atau orang yang duduk di kursi goyang, tidak
perlu mengangguk tanda setuju. Lihat arah goyangan. Belajar dari sejarah pasca
Proklamasi, maka kursi goyang dimodifikasi menjadi tandu.
Acara utama dipakai untuk blusukan, kunjungan kerja,
turun ke bawah, sidak ke pasar tradisional,
turun ke gorong-gorong atau ikut sibuk ayunan cangkul pertama pertanda
NKRI swasembada beras. Acara yang dianggapnya berklas, saat rapat dengar
pendapat dengan relawan, bolo dw, konco dw, loyalis tulèn.
Menghadapi periode kedua, semua parpol pendukungnya
dijadikan satu partai besar. Dengan lambang ‘kursi goyang’. Warna kursi sesuai aslinya. Warna kayu. Atau bisa
juga warna merah. Maunya, warna kursi putih, polos. Warna bendera merah
menantang.
Yèl-yèl bukan diimbangi dengan acungkan tinju ke langit. Cukup
dengan mantuk-mantuk. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar