Halaman

Minggu, 13 Mei 2018

mengkambinghitamkan korban vs mengkorbankan kambing hitam



mengkambinghitamkan korban vs mengkorbankan kambing hitam

Pepatah yang lumayan lama masa berlakunya, “gol karena  bola tak dapat diraih, Malang dengan Persema, Surabaya dengan Persebaya”. Kedua kesebelasan adu gengsi di laga Nusantara Cup.

Persebaya menang pamor karena sebagai kesebelasan ibukota provinsi. Nama besarnya sudah dikenal lama di lapangan hijau. Mendapat gelar Bajul Ijo. Agak lupa juga.

Bola tetap bundar walau diperebutkan oleh 24 pasang kaki, termasuk kiper. Nasib bola memang tidak selalu bundar. Licinnya lapangan, bisa menjadi alasan uatama susah menggoalkan. Bola yang tidak mau diajak kompromi, dalih kuat berikutnya.

Agar tampak konsitusional, maka jurus elak yang disampaikan ke tukang ganda berita adalah wasit sudah “laku”. Terlihat saat ambi kebijakan. Wajar kalau wasit selalu membela tim tuan rumah.

Pergantian bola karena sudah tidak layak tanding, tidak masuk berita acara. Walau reporter sempat menyebutkan adanya pergantian bola antar waktu.  

Pemain dengan posisi strategisnya, masih dianggap sebagai pemain.  Yang menentukan skore akhir, adalah pihak yang paling banyak menyumbang Rp.

Di panggung politik, pemain politik bahkan petugas partai, hanya sekedar tampil sesuai skenario. Pasar taruhan, sentimen positif maupun nilai tukar pemaih menjadi mesin penggerak pesta demokrasi.

Citra “kota pahlawan” menjadi daya tarik, nilai jual untuk mengalihkan isu politik dalam negeri. Jelang pesta akbar olahraga tingkat Asia yang gong pembuka 18.08.2018 maka apapun bisa terjadi. NKRI sibuk mencari sosok presiden ke-8 RI. [HaèN]
mengkambinghitamkan korban vs mengkorbankan kambing hitam

Pepatah yang lumayan lama masa berlakunya, “gol karena  bola tak dapat diraih, Malang dengan Persema atau Arema FC, Surabaya dengan Persebaya”. Kedua kesebelasan adu gengsi di laga Nusantara Cup. Nyaris seperti musuh bebuyutan.

Persebaya menang pamor karena sebagai kesebelasan ibukota provinsi. Nama besarnya sudah dikenal lama di lapangan hijau. Mendapat gelar Bajul Ijo. Agak lupa juga.

Bola tetap bundar walau diperebutkan oleh 24 pasang kaki, termasuk kiper. Nasib bola memang tidak selalu bundar. Licinnya lapangan, bisa menjadi alasan uatama susah menggoalkan. Bola yang tidak mau diajak kompromi, dalih kuat berikutnya.

Agar tampak konsitusional, maka jurus elak yang disampaikan ke tukang ganda berita adalah wasit sudah “laku”. Terlihat saat ambi kebijakan. Wajar kalau wasit selalu membela tim tuan rumah.

Pergantian bola karena sudah tidak layak tanding, tidak masuk berita acara. Walau reporter sempat menyebutkan adanya pergantian bola antar waktu.  

Pemain dengan posisi strategisnya, masih dianggap sebagai pemain.  Yang menentukan skore akhir, adalah pihak yang paling banyak menyumbang Rp.

Di panggung politik, pemain politik bahkan petugas partai, hanya sekedar tampil sesuai skenario. Pasar taruhan, sentimen positif maupun nilai tukar pemaih menjadi mesin penggerak pesta demokrasi.

Citra “kota pahlawan” menjadi daya tarik, nilai jual untuk mengalihkan isu politik dalam negeri. Jelang pesta akbar olahraga tingkat Asia yang gong pembuka 18.08.2018 maka apapun bisa terjadi. NKRI sibuk mencari sosok presiden ke-8 RI. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar