mengkambinghitamkan
korban vs mengkorbankan kambing hitam
Pepatah yang lumayan lama masa
berlakunya, “gol karena bola tak dapat
diraih, Malang dengan Persema, Surabaya dengan Persebaya”. Kedua kesebelasan
adu gengsi di laga Nusantara Cup.
Persebaya menang pamor karena
sebagai kesebelasan ibukota provinsi. Nama besarnya sudah dikenal lama di
lapangan hijau. Mendapat gelar Bajul Ijo. Agak lupa juga.
Bola tetap bundar walau diperebutkan
oleh 24 pasang kaki, termasuk kiper. Nasib bola memang tidak selalu bundar. Licinnya
lapangan, bisa menjadi alasan uatama susah menggoalkan. Bola yang tidak mau
diajak kompromi, dalih kuat berikutnya.
Agar tampak konsitusional, maka
jurus elak yang disampaikan ke tukang ganda berita adalah wasit sudah “laku”. Terlihat
saat ambi kebijakan. Wajar kalau wasit selalu membela tim tuan rumah.
Pergantian bola karena sudah tidak
layak tanding, tidak masuk berita acara. Walau reporter sempat menyebutkan
adanya pergantian bola antar waktu.
Pemain dengan posisi strategisnya,
masih dianggap sebagai pemain. Yang menentukan
skore akhir, adalah pihak yang paling banyak menyumbang Rp.
Di panggung politik, pemain politik
bahkan petugas partai, hanya sekedar tampil sesuai skenario. Pasar taruhan,
sentimen positif maupun nilai tukar pemaih menjadi mesin penggerak pesta
demokrasi.
Citra “kota pahlawan” menjadi daya
tarik, nilai jual untuk mengalihkan isu politik dalam negeri. Jelang pesta
akbar olahraga tingkat Asia yang gong pembuka 18.08.2018 maka apapun bisa
terjadi. NKRI sibuk mencari sosok presiden ke-8 RI. [HaèN]
mengkambinghitamkan
korban vs mengkorbankan kambing hitam
Pepatah yang lumayan lama masa
berlakunya, “gol karena bola tak dapat
diraih, Malang dengan Persema atau Arema FC, Surabaya dengan Persebaya”. Kedua kesebelasan
adu gengsi di laga Nusantara Cup. Nyaris seperti musuh bebuyutan.
Persebaya menang pamor karena
sebagai kesebelasan ibukota provinsi. Nama besarnya sudah dikenal lama di
lapangan hijau. Mendapat gelar Bajul Ijo. Agak lupa juga.
Bola tetap bundar walau diperebutkan
oleh 24 pasang kaki, termasuk kiper. Nasib bola memang tidak selalu bundar. Licinnya
lapangan, bisa menjadi alasan uatama susah menggoalkan. Bola yang tidak mau
diajak kompromi, dalih kuat berikutnya.
Agar tampak konsitusional, maka
jurus elak yang disampaikan ke tukang ganda berita adalah wasit sudah “laku”. Terlihat
saat ambi kebijakan. Wajar kalau wasit selalu membela tim tuan rumah.
Pergantian bola karena sudah tidak
layak tanding, tidak masuk berita acara. Walau reporter sempat menyebutkan
adanya pergantian bola antar waktu.
Pemain dengan posisi strategisnya,
masih dianggap sebagai pemain. Yang menentukan
skore akhir, adalah pihak yang paling banyak menyumbang Rp.
Di panggung politik, pemain politik
bahkan petugas partai, hanya sekedar tampil sesuai skenario. Pasar taruhan,
sentimen positif maupun nilai tukar pemaih menjadi mesin penggerak pesta
demokrasi.
Citra “kota pahlawan” menjadi daya
tarik, nilai jual untuk mengalihkan isu politik dalam negeri. Jelang pesta
akbar olahraga tingkat Asia yang gong pembuka 18.08.2018 maka apapun bisa
terjadi. NKRI sibuk mencari sosok presiden ke-8 RI. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar