adab rakyat
mendukung pemerintah, bukan mendukung sang oknum penguasa tunggal
Pernah, entah kapan. Pemerintah
RI tidak ucapkan selamat kepada pemimpin baru di negara Iran. Jawaban diplomatis,
bahwa RI mengakui pemerintah bukan pada siapa yang memimpin. Dengan negara
lain, di waktu yang berbeda, kepala negara RI sampaikan ucapan kepada pemimpin
baru suatu negara.
Sebaliknya, jika RI
mempunyai pemimpin baru, sesama negara ASEAN tampak adem ayem. Tidak ada basa-basi politik.
Jangan cepat jatuh duga.
Jika ada negara berkirim ucapan selamat atas terpilihnya presiden RI. Memang pada
umumnya datang dari negara yang paling berkepentingan. Khususnya sudah terjalin
“hubungan diplomatik” secara pribadi.
Belum ada catatan
sejarah, ketika presiden kedua RI, terpilih sampai 6 (enam) kali berturut-turut sesuai kemanfaatan hasil pemilu. Negara mana saja yang langganan
sampaikan ucapan selamat.
Juga belum ada hasil survei
yang menunjukkan negara mana saja yang sambut gembira SBY terpilih untuk kedua
kalinya. Jangankan dari negara lain atau pihak luar negeri. Terbukti, malah
dari dalam negeri banyak pihak berduka yang teramat duka. Sampai-sampai di periode berikutnya tidak siap menang.
Salah satu keunggulan
pemerintah éra mégatéga adalah secara dejure dan defacto masih sebagai pemimpin yang syah, konstitusional. Soal
ada presiden senior atau predikat lainnya, sah-sah saja. Namanya politik. Jangan dibilang Indonesia sebagai negara
multipilot.
Ingat, relawan penguasa
siap berdiri di barisan depan, di belakang petugas partai. Total jenderal,
pasang badan. Mengamankan jalannya pemerintah dari rongrongan konco dw. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar