dékade ketiga reformasi, Rakyat kembali berdaulat
Nyaris
semua lapisan penduduk Nusantara, tanpa pikir panjang otomatis mencibirkan
bibir saat dengan kata ‘rakyat’. Potongan idealisme dan
sisa rasa nasionalismenya mengembara, membayangkan sosok rakyat.
Wajah rakyat
yang tampak polos, lugu, tanpa pamrih dan nerimo. Kaki kiri keinjak,
hanya tersenyum tanpa protes. Bahkan merasa bersalah telah salah meletakkan
kakinya. Bersyukur, masih ada kaki kanan yang bugar. Yang siap membantu kerja
kaki kiri jika tidak wajar.
Manusia
dan atau orang Indonesia, tak pernah tahu bahwa rakyat itu bukan bangsa
pendendam. Juga bukan bangsa pemaklum. Jika hatinya disakiti, jika jiwanya
diteror, hanya memandang itulah kehidupan.
Semua kejadian
alami dilakoninya dengan seluruh jiwa raga. Mereka merasa semua kejadian
perkara sudah ada yang mengatur. Ora perlu nggresulo, maido. Semangat mereka
adalah jika ada satu yang sakit maka yang lain akan ikut merasakan. Mereka tak
tega perut kenyang tetapi melihat tetangga keroncongan.
Mereka
tak tahu apa itu Pancasila. Juga tak tahu bahwasanya kehidup sehari-sehari
secara tak sengaja telah mempraktikkan Pancasila. Mereka tak perlu rumusan
secara akademis, tak butuh penjabaran secara konstitusional maupun tak penting pendekatan
secara internasional.
Rakyat
hanya bisa berdoa. Melihat kalau anak bangsa pribumi, putera-puteri terbaik
daerah, kalangan bumiputera yang dipercayanya sebagai wakil rakyat, nyatanya
ternyata lebih memperjuangkan kebijakan partai.
Memasuki
dekade ketiga pasca reformasi 21 Mei 1998, jika terjadi pembiaran, maka kedaulatan nasional
dikendalikan oleh skenario, konspirasi, rekayasa pihak yang paling berkepentingan. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar