Halaman

Sabtu, 26 Mei 2018

dékade ketiga reformasi, Rakyat kembali berdaulat


dékade ketiga reformasi, Rakyat kembali berdaulat

Nyaris semua lapisan penduduk Nusantara, tanpa pikir panjang otomatis mencibirkan bibir saat dengan kata ‘rakyat’. Potongan idealisme dan sisa rasa nasionalismenya mengembara, membayangkan sosok rakyat.

Wajah rakyat yang tampak polos, lugu, tanpa pamrih dan nerimo. Kaki kiri keinjak, hanya tersenyum tanpa protes. Bahkan merasa bersalah telah salah meletakkan kakinya. Bersyukur, masih ada kaki kanan yang bugar. Yang siap membantu kerja kaki kiri jika tidak wajar.

Manusia dan atau orang Indonesia, tak pernah tahu bahwa rakyat itu bukan bangsa pendendam. Juga bukan bangsa pemaklum. Jika hatinya disakiti, jika jiwanya diteror, hanya memandang itulah kehidupan.

Semua kejadian alami dilakoninya dengan seluruh jiwa raga. Mereka merasa semua kejadian perkara sudah ada yang mengatur. Ora perlu nggresulo, maido. Semangat mereka adalah jika ada satu yang sakit maka yang lain akan ikut merasakan. Mereka tak tega perut kenyang tetapi melihat tetangga keroncongan.

Mereka tak tahu apa itu Pancasila. Juga tak tahu bahwasanya kehidup sehari-sehari secara tak sengaja telah mempraktikkan Pancasila. Mereka tak perlu rumusan secara akademis, tak butuh penjabaran secara konstitusional maupun tak penting pendekatan secara internasional.

Rakyat hanya bisa berdoa. Melihat kalau anak bangsa pribumi, putera-puteri terbaik daerah, kalangan bumiputera yang dipercayanya sebagai wakil rakyat, nyatanya ternyata lebih memperjuangkan kebijakan partai.

Memasuki dekade ketiga pasca reformasi 21 Mei 1998, jika terjadi pembiaran, maka kedaulatan nasional dikendalikan oleh skenario, konspirasi, rekayasa pihak yang paling berkepentingan. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar