Halaman

Senin, 14 Mei 2018

Politik Tanpa Jendela


Politik Tanpa Jendela

Politik tetap politik. Ruang gerak mulai sebagai cabang disiplin ilmu sampai menjelma sebagai agama dunia.

Semakin berjubel partai politik di suatu negara, bukti bahwa politik sebagai tujuan hidup. Di  Nusantara, anak bangsa pribumi untuk bisa menjadi wakil rakyat, kepala daerah dan terutama kepala negara wajib mempunyai kendaraan politik.

Rakyat sudah mafhum lahir batin, dong diri sejak dalam impian akan ketidaklaikan sebuah partai politik. Namun karena penumpangnya mampu menservis sambil jalan. Terjadilah yang seharusnya tak terjadi. Perjalanan bangsa menjadi asal meluncur. Menjadi negara multipilot.

Mengurus negara dianggap sama dengan berorganisasi ala “mangan ora mangan sing penting wareg”.

Kendati pemilikan saham dibatasi, malah membuka peluang mereka yang berpunya untuk memiliki sebuah perusahaan keluarga. Mendirikan partai politik. Atau dalam skala daerah, semisal kabupaten/kota, dengan modal bergala reformasi 3K (kaya, kuat, kuasa), sebuah partai politik bisa dimilki atau dikuasai.

Praktik politik di Nusantara, tak jauh-jauh dari menu “tidak ada politik, maka politik pun jadi”. Artinya, segala macam modus, model, modal menjadi satu.

Pokoké menang”, ujaran kebangsaan ki dalang Sobopawon setiap memulai pentas dagelan politik. Juru keplok siap. Lebih siap lagi tukang keplak (baca, loyalis penguasa), siap ringan tangan.

Politik daur ulang menjadi andalan resmi parpol yang mendaulat dirinya sebagai partai pro-rakyat. Tak perlu diperdebatkan jika menu Nasakom olahan Orde Lama, masih ada pihak yang melestarikannya.

Partai pro-pemerintah atau partai pemerintah, macam yang berlaku di zaman Orde Baru, menjadi alternatif.

Asas negara terbuka, menjadikan partai politik yang mampu atau di bawah komunikasi, koordinasi, kontrol, kendali kekuatan asing, yang akan berkibar. Memang nasib rakyat adalah berkorban dalam bentuk apapun demi kepentingan bangsa dan negara. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar