Politik Tanpa
Jendela
Politik tetap politik. Ruang gerak
mulai sebagai cabang disiplin ilmu sampai menjelma sebagai agama dunia.
Semakin berjubel partai politik di
suatu negara, bukti bahwa politik sebagai tujuan hidup. Di Nusantara, anak bangsa pribumi untuk bisa
menjadi wakil rakyat, kepala daerah dan terutama kepala negara wajib mempunyai
kendaraan politik.
Rakyat sudah mafhum lahir batin, dong diri sejak dalam impian akan ketidaklaikan sebuah partai politik. Namun karena
penumpangnya mampu menservis sambil jalan. Terjadilah yang seharusnya tak
terjadi. Perjalanan bangsa menjadi asal meluncur. Menjadi negara multipilot.
Mengurus negara dianggap sama dengan
berorganisasi ala “mangan ora mangan sing penting wareg”.
Kendati pemilikan saham dibatasi,
malah membuka peluang mereka yang berpunya untuk memiliki sebuah perusahaan
keluarga. Mendirikan partai politik. Atau dalam skala daerah, semisal
kabupaten/kota, dengan modal bergala reformasi 3K (kaya, kuat, kuasa), sebuah
partai politik bisa dimilki atau dikuasai.
Praktik politik di Nusantara, tak
jauh-jauh dari menu “tidak ada politik, maka politik pun
jadi”. Artinya,
segala macam modus, model, modal menjadi satu.
“Pokoké menang”, ujaran kebangsaan ki dalang Sobopawon setiap memulai pentas dagelan
politik. Juru keplok siap. Lebih siap lagi tukang keplak (baca, loyalis penguasa),
siap ringan tangan.
Politik daur ulang menjadi andalan
resmi parpol yang mendaulat dirinya sebagai partai pro-rakyat. Tak perlu diperdebatkan
jika menu Nasakom olahan Orde Lama, masih ada pihak yang melestarikannya.
Partai pro-pemerintah atau partai
pemerintah, macam yang berlaku di zaman Orde Baru, menjadi alternatif.
Asas negara terbuka, menjadikan
partai politik yang mampu atau di bawah komunikasi, koordinasi, kontrol, kendali
kekuatan asing, yang akan berkibar. Memang nasib rakyat adalah berkorban dalam
bentuk apapun demi kepentingan bangsa dan negara. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar