Gejolak Politik
Penguasa, Antara Menjilat Ludah Sendiri dan Main Ludah
Kiper berpengalaman
tangkap bola selamatkan gawang, sesekali akan menangkap angin. Beda pasal jika
gol bunuh diri. Bukan oleh kiper, memang bisa. Tetapi oleh ulah pemain tim
kesebelasan yang sama. Jangan pakai asas praduga tak bersalah.
Namanya
permainan. Kecelakaan di lapangan hijau bisa menciderai dan melukai berbagai
pihak. Secara politis, kesebelasan nasional dikenal main cantik. Ora ngoyo. Bal kok dioyak-oyak. Bal siji dadi rebutan
wong sepuluh. Soal kalah atau menang bukan tujuan. Sibuk
bermain. Penonton kecewa, bukan urusan pemain.
Biaya politik
dari serbagai sumber, bukan jaminan akan mencetak pemain siap laga, siap
tanding. Lebih dari itu. Siap balik modal. Siap menjadikan tim sebagai
kesebelasan profesional, komersial. Membela wibawa negara. Menegakkan Pancasila
di negeri sendiri.
Semakin
sering, banyak, rajin bertanding maka dipastikan peringkat akan naik. Pengalaman
adalah guru yang bijak. Pengalaman sebagai murid akan menentukan nasib
perjalanan hidup pasca wisuda.
Ada yang
satu putaran kompetisi sudah merasa puas. Tolok ukurnya sukses secara ekonomi. Selama
sibuk kerja, menendang kesana kemari, kian kemari, sampai lupa diri. Acap pakai
gigi 4 atay gigi 5, tancap gas. Akhirnya mesin rontok dari dalam. Beban politik
melebihi kepasitas diri. Banyak pesanan yang belum dipenuhi. Tapi tagihan utang
terus mengglinding tak kenal lapangan hijau. Meja hijau. Atau pengadilan rakyat
yang menanti. Semakin disepak, semakin bebal, kebal, dan tebal muka. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar