Menyoal Lagu Lama:
Legislasi Disandera Pemodal
KILAS BALIK
Kita simak
tayangan Republika online Kamis, 17 November 2011, halaman pertama,
dengan tajuk:
Legislasi Disandera Pemodal
(selengkapnya, lihat lampiran)
BALIK KANDANG
Kejadian perkara
di atas, pada periode 2009-2014, periode kedua presiden ke-6 RI, yang dikenal
dengan akronim SBY.
Praktik demokrasi
di NKRI yang menghasilkan atau mengacu pada sistem presidensial dan melahirkan
negara multipartai. Ujung-ujungnya, kedaulatan ada di tangan penguasa.
Dua periode SBY,
secara tak sengaja namun konstitusional menghadirkan modus oposisi. Dengan pola
oposisi banci, oposisi setengah hati. Karena kelamaan duduk manis di bangku
cadangan, menjadikan pihak oposan menjadi tidak siap laga. Terbukti di laga
kandang pesta demokrasi 2014, tidak siap menang.
Ada apa dengan
kisah periode 2014-2019. Mulai dari mana enaknya kisahnya ditayangkan apa
adanya. Adanya apa.
Konon. Koalisi
partai politik pendukung pemerintah. Pro pemerintah banget. Hanya
berlaku di tingkat pusat. Di daerah, bahkan di tingkat kabupaten/kota,
kepentingan sesaat yang menentukan. Semisal di pilkada serentak, muncul calon
tunggal.
Ada pihak yang
menakar keberhasilan Jokowi plus/minus JK, adalah keberhasilannya “mengendalikan”
DPR. Kinerja tahun pertama Jokowi yang
mampu melampaui kinerja 2 (dua) periode SBY.
Perlu rumusan
sistem presidensial versi ramuan ajain revolusi mental. Penjabaran terukur
hubungan diplomatik antara eksekutif dengan legislatif. Bukan salah konsep trias
politica.
Daya ideologi
yang terpancar pada kinerja, pernyataan, dan sikap politik dari anggota maupun
pimpinan DPR, atau DPR secara keseluruhan, agaknya tidak masuk radar awak
media.
Awak media, baik
yang berperan sebagai pengganda isu atau ahli menggoreng ujaran kebodohan
maupun ujaran kebencian pemerintah, lebih tertarik dengan sisi negatif, sisi
miring kawanan DPR.
Oknum ketua DPR
(tak perlu disebutkan siapa saja atau siapa dianya) nyaris menjadi bintang
tunggal atas kasus tipikor atau pasal lainnya. Sudah menjadi tradisi bahwa
karena ahli legislasi, maka memang harus ahli berurusan dengan hukum.
SERANG BALIK
Aktualisasi
hakikat kawanan wakil rakyat masuk kuadran susu setitik kalah pamor dengan nila
sebelanga.
Jujur saja, jika
kita simak tajuk “legislasi disandera pemodal”, seolah menjadi benang merah
antar periode pemerintah. Ditambah fungsi anggaran dan fungsi pengawasan, tak
akan lepas dari aneka kasus. Seperti ‘ada kuman di balik batu’. Wajar jika sebuah UU sejatinya adalah sebuah keputusan
politik, kompromi politik berjamaah dari berbagai kekuatan politik dalam bentuk
tangan fraksi-fraksi di DPR.
Penyakit
turun-temurun seolah malah menjadi tradisi wajib.
Bagaimana acara,
adegan, atraksi rapat dengar pendapatan antara legislatif di satu pihak
berhadapan dengan eksekutif sebagai pihak yang dianggap berseberangan. Ini
bukan konsumsi rakyat. Walau risalahnya bisa dibaca di laman DPR.
Namanya kompromi,
bisa bak arisan, sistem bagi hasil, sistem kompensasi, sistem ganti untung.
Ironis binti miris, dalam satu fraksi pun bisa tidak bulat sepakat atau sepakat
bulat. Vokalnya oknum anggota DPR tidak dapat dipersalahkan. Sah-sah saja jika
tidak taat total pada kebijakan partai.
Bisa jadi oknum
kawanan anggota DPR tersandera oleh efek domino biaya politik.
BOLAK-BALIK
Efek domino
negara mulipartai yang terasa nyata adalah Indonesia menjadi negara mulipilot. Dejure
sebagai kepala negara, tetapi defacto hanya sebatas sebagai petugas
partai. Bukan pelecehan konstitusional. Bukti cerdas ideologi menjadi barang
langka. Anak cucu ideologis bahaya laten, tetap eksis, tak ada matinya. Tak ada
kapoknya. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar