Halaman

Selasa, 29 Mei 2018

Menyoal Lagu Lama: Legislasi Disandera Pemodal


Menyoal Lagu Lama: Legislasi Disandera Pemodal

KILAS BALIK
Kita simak tayangan Republika online Kamis, 17 November 2011, halaman pertama, dengan tajuk:
Legislasi Disandera Pemodal
(selengkapnya, lihat lampiran)

BALIK KANDANG
Kejadian perkara di atas, pada periode 2009-2014, periode kedua presiden ke-6 RI, yang dikenal dengan akronim SBY.

Praktik demokrasi di NKRI yang menghasilkan atau mengacu pada sistem presidensial dan melahirkan negara multipartai. Ujung-ujungnya, kedaulatan ada di tangan penguasa.

Dua periode SBY, secara tak sengaja namun konstitusional menghadirkan modus oposisi. Dengan pola oposisi banci, oposisi setengah hati. Karena kelamaan duduk manis di bangku cadangan, menjadikan pihak oposan menjadi tidak siap laga. Terbukti di laga kandang pesta demokrasi 2014, tidak siap menang.

Ada apa dengan kisah periode 2014-2019. Mulai dari mana enaknya kisahnya ditayangkan apa adanya. Adanya apa.

Konon. Koalisi partai politik pendukung pemerintah. Pro pemerintah banget. Hanya berlaku di tingkat pusat. Di daerah, bahkan di tingkat kabupaten/kota, kepentingan sesaat yang menentukan. Semisal di pilkada serentak, muncul calon tunggal.

Ada pihak yang menakar keberhasilan Jokowi plus/minus JK, adalah keberhasilannya “mengendalikan” DPR.  Kinerja tahun pertama Jokowi yang mampu melampaui kinerja 2 (dua) periode SBY.

Perlu rumusan sistem presidensial versi ramuan ajain revolusi mental. Penjabaran terukur hubungan diplomatik antara eksekutif dengan legislatif. Bukan salah konsep trias politica.

Daya ideologi yang terpancar pada kinerja, pernyataan, dan sikap politik dari anggota maupun pimpinan DPR, atau DPR secara keseluruhan, agaknya tidak masuk radar awak media.

Awak media, baik yang berperan sebagai pengganda isu atau ahli menggoreng ujaran kebodohan maupun ujaran kebencian pemerintah, lebih tertarik dengan sisi negatif, sisi miring kawanan DPR.

Oknum ketua DPR (tak perlu disebutkan siapa saja atau siapa dianya) nyaris menjadi bintang tunggal atas kasus tipikor atau pasal lainnya. Sudah menjadi tradisi bahwa karena ahli legislasi, maka memang harus ahli berurusan dengan hukum.

SERANG BALIK
Aktualisasi hakikat kawanan wakil rakyat masuk kuadran susu setitik kalah pamor dengan nila sebelanga.

Jujur saja, jika kita simak tajuk “legislasi disandera pemodal”, seolah menjadi benang merah antar periode pemerintah. Ditambah fungsi anggaran dan fungsi pengawasan, tak akan lepas dari aneka kasus. Seperti ‘ada kuman di balik batu’. Wajar jika  sebuah UU sejatinya adalah sebuah keputusan politik, kompromi politik berjamaah dari berbagai kekuatan politik dalam bentuk tangan fraksi-fraksi di DPR.

Penyakit turun-temurun seolah malah menjadi tradisi wajib.

Bagaimana acara, adegan, atraksi rapat dengar pendapatan antara legislatif di satu pihak berhadapan dengan eksekutif sebagai pihak yang dianggap berseberangan. Ini bukan konsumsi rakyat. Walau risalahnya bisa dibaca di laman DPR.

Namanya kompromi, bisa bak arisan, sistem bagi hasil, sistem kompensasi, sistem ganti untung. Ironis binti miris, dalam satu fraksi pun bisa tidak bulat sepakat atau sepakat bulat. Vokalnya oknum anggota DPR tidak dapat dipersalahkan. Sah-sah saja jika tidak taat total pada kebijakan partai.

Bisa jadi oknum kawanan anggota DPR tersandera oleh efek domino biaya politik.

BOLAK-BALIK
Efek domino negara mulipartai yang terasa nyata adalah Indonesia menjadi negara mulipilot. Dejure sebagai kepala negara, tetapi defacto hanya sebatas sebagai petugas partai. Bukan pelecehan konstitusional. Bukti cerdas ideologi menjadi barang langka. Anak cucu ideologis bahaya laten, tetap eksis, tak ada matinya. Tak ada kapoknya. [HaèN]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar