kontrafilosofi, “seperti biasanya”
Ungkapan, cetusan atau ujaran ketus,
ketika seseorang ditanya tentang rencana atau komennya, tanpa pikir panjang
langsung berguman, “seperti biasanya”.
Jujur, saya tidak bisa memberi
asumsi sosial tentang makna “seperti biasanya”.
Ada yang lebih standar, mungkin
malah minus, yaitu jawaban statis: “biasa”. Tanpa ekspresi atau
senyum kering.
Ironis binti miris, pola berbahasa
seperti di atas, milik semua lapisan masyarakat. mulai dari si otak encer
sampai yang ahli silat lidah. Menjadi bahasa umum, bukan murahan tetapi juga
sekaligus tidak menunjukkan kadar apa pun.
Coba kita selidik dengan santai. Pilih
gerimis tapi lama atau hujan sebentar tapi bagai air dituang dari langit.
Jika pembaca sebagai pengguna aktif
ujaran ketus di atas, dipastikan kondisi jiwa raga masih sehat, aman dan belum
ada perubahan yang berarti.
Andaikata anda sebagai pengguna
pasif, malah jadi korban secara sadar. Seperti mau-maunya dijebak hidup-hidup
atau minimal ikut irama gendang yang ditabuhnya. ingat lirik lagu, "mulanya biasa saja . . . "
Usap dada belum bisa menenangkan
jiwa. Betul. Bisik kawan,”jawab dengan kentut”. Habis perkara. Mau lanjut
perbincangan, bukan urusan kita.
Rumusan hidup berkualitas, ternyata
sangat simple, sederhana, bersahaja, tidak bertélé-télé. Yaitu “hari ini lebih baik
sedikit daripada hari kemarin”. Bukan berarti, hari ini porsi sarapan tambah satu
sendok makan. Atau jam tidur ditambah 5 (lima) menit.
Jadi, yang pengguna aktif “seperti biasanya” dan atau “biasa” terjebak dalam kondisi statis. Terbiasa dengan
kesibukan, kegiatan harian yang tipikal, rutin, berulang datar. Mulai dari
bangun pagi sampai bangun pagi berikutnya. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar