Halaman

Sabtu, 12 Mei 2018

kontrafilosofi, “seperti biasanya”


kontrafilosofi, “seperti biasanya

Ungkapan, cetusan atau ujaran ketus, ketika seseorang ditanya tentang rencana atau komennya, tanpa pikir panjang langsung berguman, “seperti biasanya”.

Jujur, saya tidak bisa memberi asumsi sosial tentang makna “seperti biasanya”.

Ada yang lebih standar, mungkin malah minus, yaitu jawaban statis: “biasa”. Tanpa ekspresi atau senyum kering.

Ironis binti miris, pola berbahasa seperti di atas, milik semua lapisan masyarakat. mulai dari si otak encer sampai yang ahli silat lidah. Menjadi bahasa umum, bukan murahan tetapi juga sekaligus tidak menunjukkan kadar apa pun.

Coba kita selidik dengan santai. Pilih gerimis tapi lama atau hujan sebentar tapi bagai air dituang dari langit.

Jika pembaca sebagai pengguna aktif ujaran ketus di atas, dipastikan kondisi jiwa raga masih sehat, aman dan belum ada perubahan yang berarti.

Andaikata anda sebagai pengguna pasif, malah jadi korban secara sadar. Seperti mau-maunya dijebak hidup-hidup atau minimal ikut irama gendang yang ditabuhnya. ingat lirik lagu, "mulanya biasa saja . . . "

Usap dada belum bisa menenangkan jiwa. Betul. Bisik kawan,”jawab dengan kentut”. Habis perkara. Mau lanjut perbincangan, bukan urusan kita.

Rumusan hidup berkualitas, ternyata sangat simple, sederhana, bersahaja, tidak bertélé-télé. Yaitu “hari ini lebih baik sedikit daripada hari kemarin”. Bukan berarti, hari ini porsi sarapan tambah satu sendok makan. Atau jam tidur ditambah 5 (lima) menit.
 
Jadi, yang pengguna aktif “seperti biasanya” dan atau “biasa” terjebak dalam kondisi statis. Terbiasa dengan kesibukan, kegiatan harian yang tipikal, rutin, berulang datar. Mulai dari bangun pagi sampai bangun pagi berikutnya.  [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar