Halaman

Rabu, 02 Mei 2018

Tangan Kiri Oknum DPR Yang Selalu Iri

Tangan Kiri Oknum DPR Yang Selalu Iri

Namanya politik.  Demi tujuan berbangsa dan dalih bernegara secara benar dan baik, maka modus operandi, rekayasa yuridis formal apapun, bagaimanapun menjadi konstitusional. Terlebih jika mengatasnamakan rakyat. Nasib rakyat selama lima tahun ke depan, ada di genggaman tangan wakil rakyat (DPR).

Terkait ideologi negara, terdapat rumusan: semakin jauh dari rakyat akan berbanding lurus dengan lunturnya pengamalan Pancasila.

DAYA JUANG
Daya juang wakil rakyat tergantung pada hubungan fungsional komersial dengan partai politik yang diwakilinya. Jabatan rangkap selain sebagai wakil rakyat, sah-sah saja. Tergantung elektabilitas akibat profesi utamanya.

Perpaduan manusia politik yang sebelumnya juga sebagai manusia ekonomi. Membuat oknum wakil rakyat, kuat di partai dan tampak berkibar di DPR. Seberapa kejadiannya, tak masalah bagi rakyat. Nyatanya, banyak faktor yang menentukan kinerja oknum maupun kawanan DPR.

Minat atau itikadlah yang menyebabkan produk sesuai fungsi DPR (legislasi, anggaran, pengawasan atau LAP) masuk kategori mangkrak sampai melebihi panggilan tugas.

Ruang juang berbasis kesejahteraan, otomatis DPR akan giat, sibuk dan tekun menggelutinya. Siap lembur 24 jam tanpa imbalan resmi.

Di sisi lain, penambahan hak perlindungan diri dengan segala manisfestasinya. Dijadikan  dalih untuk bisa bekerja lebih tenang. Diharapkan wajah kawanan anggota DPR RI menjadi anti gores, anti lecet, anti slip, anti bocor serta yang utama anti kritik.

Diperkuat dengan fasilitas kerja. Agar berbobot dan tampak segar saat sidang, perlu kunjungan kerja, studi banding ke negara lain. Penyesuian kelengkapan anggota dewan, struktur organisasi yang kaya fungsi serta hak dan wewenang maka diyakini selama satu periode akan terasa nyaman, aman dan produktif.

Masa reses dimanfaatkan untuk mendekatkan diri ke pemilihnya, di daerah pemilihan. Melakukan blusukan tematik, turun ke jalan, anjangsana atau dengar pendapat dengan rakyat. Menjaring dan menyaring aspirasi rakyat.

NASIB DIRI
Peribahasa “karena nila setitik, rusak susu sebelanga” tak berlaku di lingkungan, kalangan, kawanan anggota DPR.

Bisa-bisa, memang bisa yang terjadi malah sebaliknya. Nila sebelanga, tak berdaya bertitik-titik susu. Suara fraksi adalah kebijakan partai. Tak bisa seorang anggota DPR akan beda pendapat dengan fraksi dan atau partai politiknya.

Efek domino sebagai negara multipartai. Tunggu. Kembali ke praktik demikrasi, bahwasanya suara terbanyak yang menentukan kemenangan. Lepas dari benar dan baik. Mufakat secara aklamasi, bulat tekad. Yang sedikit harus menyesuaikan diri dengan yang banyak.

Kendati di NKRI, tirani minoritas mendapat dukungan negara. Bukan bukti, hanya sinyalemen doang bahwasanya pasca amandemen atau perubahan UUD NRI 1945, sudah 4 kali, maka  kehidupan ketatanegaraan Indonesia mengalami perubahan yang cukup drastis dan melankolis. Kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara mengalami gejolak harian yang seolah tak kunjung reda. Di kondisi tertentu, menjadikan rakyat semakin apatis, pesimis, skeptic, apriori. Sepertinya negara tak hadir jika ada masalah bangsa yang menimpa rakyat.

Mulai turun strata MPR yang semula adalah lembaga tertinggi negara, menjadi lembaga negara  yang sejajar dengan DPR dan Presiden. Terjadi munculnya aneka lembaga tinggi negara baru.

Rakyat disuguhi drama politik yang tanpa episode, yaitu tingkah laku wakil rakyat serta sekaligus tindak tanduk kepala daerah. Total jenderal, notabene mereka dipilih oleh rakyat. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar