Tangan Kiri Oknum
DPR Yang Selalu Iri
Namanya politik. Demi tujuan berbangsa dan dalih bernegara
secara benar dan baik, maka modus operandi, rekayasa yuridis formal apapun,
bagaimanapun menjadi konstitusional. Terlebih jika mengatasnamakan rakyat. Nasib
rakyat selama lima tahun ke depan, ada di genggaman tangan wakil rakyat (DPR).
Terkait ideologi negara,
terdapat rumusan: semakin jauh dari rakyat akan berbanding lurus dengan
lunturnya pengamalan Pancasila.
DAYA JUANG
Daya juang wakil rakyat
tergantung pada hubungan fungsional komersial dengan partai politik yang
diwakilinya. Jabatan rangkap selain sebagai wakil rakyat, sah-sah saja. Tergantung elektabilitas akibat profesi utamanya.
Perpaduan manusia
politik yang sebelumnya juga sebagai manusia ekonomi. Membuat oknum wakil
rakyat, kuat di partai dan tampak berkibar di DPR. Seberapa kejadiannya, tak
masalah bagi rakyat. Nyatanya, banyak faktor yang menentukan kinerja oknum
maupun kawanan DPR.
Minat atau itikadlah
yang menyebabkan produk sesuai fungsi DPR (legislasi, anggaran, pengawasan atau
LAP) masuk kategori mangkrak sampai melebihi panggilan tugas.
Ruang juang berbasis
kesejahteraan, otomatis DPR akan giat, sibuk dan tekun menggelutinya. Siap lembur
24 jam tanpa imbalan resmi.
Di sisi lain, penambahan
hak perlindungan diri dengan segala manisfestasinya. Dijadikan dalih untuk bisa bekerja lebih tenang. Diharapkan
wajah kawanan anggota DPR RI menjadi anti gores, anti lecet, anti slip, anti
bocor serta yang utama anti kritik.
Diperkuat dengan
fasilitas kerja. Agar berbobot dan tampak segar saat sidang, perlu kunjungan
kerja, studi banding ke negara lain. Penyesuian kelengkapan anggota dewan,
struktur organisasi yang kaya fungsi serta hak dan wewenang maka diyakini
selama satu periode akan terasa nyaman, aman dan produktif.
Masa reses dimanfaatkan
untuk mendekatkan diri ke pemilihnya, di daerah pemilihan. Melakukan blusukan
tematik, turun ke jalan, anjangsana atau dengar pendapat dengan rakyat. Menjaring
dan menyaring aspirasi rakyat.
NASIB DIRI
Peribahasa “karena nila
setitik, rusak susu sebelanga” tak berlaku di lingkungan, kalangan, kawanan
anggota DPR.
Bisa-bisa, memang bisa yang terjadi malah sebaliknya. Nila sebelanga, tak
berdaya bertitik-titik susu. Suara fraksi adalah kebijakan partai. Tak bisa seorang anggota
DPR akan beda pendapat dengan fraksi dan atau partai politiknya.
Efek domino sebagai
negara multipartai. Tunggu. Kembali ke praktik demikrasi, bahwasanya suara
terbanyak yang menentukan kemenangan. Lepas dari benar dan baik. Mufakat secara
aklamasi, bulat tekad. Yang sedikit harus menyesuaikan diri dengan yang banyak.
Kendati di NKRI, tirani
minoritas mendapat dukungan negara. Bukan bukti, hanya sinyalemen doang bahwasanya pasca amandemen atau perubahan UUD NRI
1945, sudah 4 kali, maka kehidupan
ketatanegaraan Indonesia mengalami perubahan yang cukup drastis dan melankolis.
Kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara mengalami gejolak harian yang
seolah tak kunjung reda. Di kondisi tertentu, menjadikan rakyat semakin apatis,
pesimis, skeptic, apriori. Sepertinya negara tak hadir jika ada masalah bangsa
yang menimpa rakyat.
Mulai turun strata MPR
yang semula adalah lembaga tertinggi negara, menjadi lembaga negara yang sejajar dengan DPR dan Presiden. Terjadi
munculnya aneka lembaga tinggi negara baru.
Rakyat disuguhi drama
politik yang tanpa episode, yaitu tingkah laku wakil rakyat serta sekaligus
tindak tanduk kepala daerah. Total jenderal, notabene mereka dipilih oleh
rakyat. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar