walau bukan isapan
jempol kaki
Satu fakta kejadian perkara dengan aneka berita
pengkabarannya. Suka-suka yang membuat dan mengedarkan berita. Saksi mata pun
jika membaca berita macam propaganda atau penggandaan ala penabur, penebar
fitnah dunia, malah merasa bersalah. Merasa berada di tempat yang salah. Tidak
bagi pihak tertentu yang ahli memperkeruh suasana.
Kampanye politik memang harus sarat muatan
rekayasa, manipulasi, modus operandi yang jangan hiraukan batasan haram dan
halal. Asal konstitusional, semua jadi halal. Masuk kategori haram, namun merupakan
pilihan mayoritas atau aklamasi, menjadi milik bersama. Soal dosa, urusan di
akhirat. Kepentingan umum di atas urusan dan pasal dunia.
Orang yang sama dan dengan waktu yang tidak sama,
akan menghasilkan komentar yang beda atas kasus yang sama. Lebih dari itu, waktu yang tidak beda jauh,
karena sang penanya berbeda, jawabannya sesuai penanya. Basa-basi, bahasa diplomatis,
klise, spontanitas atau asal jawab menjadi bukti dinamika pikiran kita.
Bersyukur, apa yang kita serap hanya sebagian kecil
yang menjadi memori. Lainnya berputar di sekeliling kita atau berbaur di
frekeunsi bebas. Bisa muncul di alam mimpi, alam bawah sadar. Atau pas kita
butuh, rekaman kabur tadi bisa muncul membantu.
Kapasitas diri dan rekam jejak kita, bukan jaminan
sebagai modal untuk meningkatkan grafik kehidupan. Sifat manusia yang mudah
terkejut, mudah heran berseberangan dengan rasa ingin tahu.
Jadi, jika ada orang bertanya, sebetulnya dia sudah
punya jawaban. Kita terjebak oleh “kecerdasan” orang lain. Demi rasa sosial,
kita acap mengabaikan jati diri. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar