ulama, santri itu
(harus) Jawa
Bukan fakta sejarah, juga bukan
ilusi. Tidak masuk ilmu tasyrih, walau ada kandungan bedah angan-angan.
Perjalanan waktu yang selalu melaju sesuai kepastian, tetap meninggalkan jejak
yang terlacak. Agar manusia belajar dari sejarah masa lampau untuk mebuat
sejarah masa depan.
Menumpuk dan memupuk masa lampau,
membuat kita tak bisa melihat kenyataan yang ada. Tidak salah. Di mana bumi
dipijak, seolah kita terangkat. Memahami itulah dunia kita. Tak beda dengan
katak di bawah tempurung raksasa.
Tak salah jika anak bangsa pribumi
merasa nyaman berada di habitat, teritorialnya. Jumlah banyak komunitasnya,
membuat nyali di atas rata-rata. Semua menjadi mendadak, spontanitas,
solidaritas sesama nasib. Tindakan yang tidak perlu mikir, tak pakai lama.
Kawanan agamais tradisional, dengan
kacamata kuda, insting alamiah siap terjang penghalang di depan mata. Pulau
Jawa dengan pusat di gunung Tidar. Semula adalah pusat penguasa pulau Jawa.
Terjadi kontrak politik barangsiapa masuk wilayah bertuan, wajib sambil jalan.
Serba otomatis. Kalau tak bau Jawa dilarang, bahkan diharamkan untuk eksis,
berkibar, tancap gas.
Beda dengan silsilah, trah atau
warisan genetik. Lebih ke Jawa centris. Pokoknya harus bangsa Jawa. Di luar itu
dianggap . . . dan layak dibinasakan di
tempat. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar