Halaman

Sabtu, 27 Oktober 2018

ulama, santri itu (harus) Jawa


ulama, santri itu (harus) Jawa

Bukan fakta sejarah, juga bukan ilusi. Tidak masuk ilmu tasyrih, walau ada kandungan bedah angan-angan. Perjalanan waktu yang selalu melaju sesuai kepastian, tetap meninggalkan jejak yang terlacak. Agar manusia belajar dari sejarah masa lampau untuk mebuat sejarah masa depan.

Menumpuk dan memupuk masa lampau, membuat kita tak bisa melihat kenyataan yang ada. Tidak salah. Di mana bumi dipijak, seolah kita terangkat. Memahami itulah dunia kita. Tak beda dengan katak di bawah tempurung raksasa.

Tak salah jika anak bangsa pribumi merasa nyaman berada di habitat, teritorialnya. Jumlah banyak komunitasnya, membuat nyali di atas rata-rata. Semua menjadi mendadak, spontanitas, solidaritas sesama nasib. Tindakan yang tidak perlu mikir, tak pakai lama.

Kawanan agamais tradisional, dengan kacamata kuda, insting alamiah siap terjang penghalang di depan mata. Pulau Jawa dengan pusat di gunung Tidar. Semula adalah pusat penguasa pulau Jawa. Terjadi kontrak politik barangsiapa masuk wilayah bertuan, wajib sambil jalan. Serba otomatis. Kalau tak bau Jawa dilarang, bahkan diharamkan untuk eksis, berkibar, tancap gas.

Beda dengan silsilah, trah atau warisan genetik. Lebih ke Jawa centris. Pokoknya harus bangsa Jawa. Di luar itu dianggap . . .  dan layak dibinasakan di tempat. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar