Indonesia-ku, guyonmu
kurang maton margo kakéhan pangkon
Sensitivitas anak bangsa pribumi yang masih doyan
nasi, sesuai gelombang politik yang menerpa jidatnya. Melihat orang jalan
cepat, langsung ikut reaksi cepat. Menyimak lawan jenis melintas di depan
hidungnya, langsung kembang kempis. Membaca ujaran kebencian, belum-belum sudah
terangsang untuk menyonyorkan diri.
Di pihak lain, beda tempat sama waktu, putra-putri
terbaik daerah yang benar dan baik, tetap adem ayem dengan segala ‘kata orang’.
Dibilang anak sok tahu, memang lauk favoritnya tahu dan tempe. Yang mbilangin, udik yang sudah dimodifikasi habis-habisan. Pakai karoseri dalam negeri
rasa asing. Warna kinclong mencorong.
Skala bangsa, pemerintah pun punya daya peka begitu
pekanya. Dengar orang batuk 3x berturut-turut langsung terkena pasal menghina
penguasa. Apalagi ketawa ditahan-tahan malah keluar kentut. Pasal makar
menantinya.
Akhirnya, alam menguji kepekaan kita dengan uji
bulanan. Sambung menyambung tanpa pemberitahuan. Mendadak digoreng di tempat
agar terbukti panasnya nyata bukan rekayasa.
Kembali ke hukum berbanding lurus. Barangsiapa karena
panggilan Ibu Pertiwi menjadikannya jauh dari rakyat, akan berbanding lurus
dengan semakin rontoknya nilai-nilai Pancasila. Masuk ke transisi dengan dunia
luar. Pasti rentan, riskan, rawan dengan sentuhan asing. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar