Indonesia darurat
generasi over akal
Melek teknologi informasi dan
komunikasi (TIK) anak bangsa pribumi Nusantara sudah melampaui daya tampung,
daya dukung dan daya dong-nya. Penyandang kategori wong ndeso pun, melek TIK
melampaui fantasi politiknya.
Ironis binti miris, yang namanya
pengamat politik klas lesehan sampai presiden seumur hidup sebuah partai
politik, sudah menjadi korban peradaban berkemajuan berbasis TIK.
Generasi Nusantara tak ditentukan oleh
batasan usia. Karena anak kemarin sore, anak bau kencur atau bahkan sejak dalam
kandungan sudah ramah TIK. Dunia semakin sempit dan menyempitkan pertumbuhan
jiwa raga. Pemain di dunia maya tak disyaratkan pendidikan formalnya. Asal bisa
calistung, langsung masuk pasar bebas menulis. Merdeka berujar apapun.
Anak bangsa lebur dalam kekaburan
manfaat TIK. Merasa menemukan jati diri, harga diri, citra diri, pesona diri. Sedemikian
merasa keakuannya. Muncul konflik internal. Kaki tak percaya akan ketulusan
tangan.
Tangan kanan sudah meinggalkan
koordinasi denga tangan kiri.
Mana otak kanan, mana otak kiri,
yang dominan malah otak yang disusupi gelombang TIK. Sejak revolusi TIK,
semakin bangga dan yakin diri karena di tangannya menjadikan kaki tak
kemana-kemana.
Pemain tunggal, bertanya sendiri
dijawab sendiri. Mempertanyakan jawabannya sendiri. Terkèkèh sendiri. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar