romantika
ulama Nusantara terjebak taruhan politik
Sejarah umat manusia,
khususnya perjalanan ketauhidan, akan berulang dengan intensitas sesuai
zamannya. Macam Fir’aun akan muncul di tempat dan waktu yang jauh berbeda. Semua
pihak bisa belajar darinya.
Di negara yang agama
langit, agama bumi maupun aliran kepercayaan diakui, seolah menjadi ajang
pengulangan sejarah Fir’aun.
Tanpa talenta anak
bangsa pribumi, sebagai generasi tanggung. Kenapa memakai ungkapan ‘tanggung’. Tak
perlu basa-basi, karena masuk kategori nasionalis, jelas bukan; dibilang agamais, relijius, jelas
tidak.
Ajang pencarian bakat
untuk menjadi pemimpin bangsa, kalah cepat dengan pergerakan manusia ekonomi. Pendidikan
politik memang tampak brilian di atas kertas. Kurikulum mengadop bangsa lain
yang sudah jauh melaju. Yang tampak baik dan indah, diformulasikan sesuai karakter
dasar manusia Nusantara.
Cerdas ideologi rakyat,
yaitu bersifat cepat tanggap alias ahli komen. Budaya baca, hanya baca sekilas
langsung buka mulut. Mudah terprovokasi jiwanya sendiri. Kalau sudah begini,
tak perlu pasal penjelas.
Menu politik Nusantara
menjadikan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara bebas bergerak
mengkuti hukum politik. Kebebasan berideologi menjadi bebas bersyarat. Tolok
ukurnya cukup sederhana, asal penguasa hatinya senang dan tenang.
Manusia ekonomi, sebut
saja pengusaha, di tingkat lokal Nusantara sejak zaman penjajahan sudah menjadi
langganan sejarah. Bagaimana mereka yang ‘satu bahasa’ dengan bangsa penjajah,
memuluskan langkahnya dengan aneka upaya. Bersekutu dengan seteru vs berseteru
dengan sekutu. makanya mereka tetap eksis di bawah penguasa siapa pun.
Jual beli nikmat dunia,
mampu menarik minat oknum ulama Nusantara. Sudah terbaca jauh tahun sebelum
Proklamasi 17 Agustus 1945. Jadi, umat Islam hanya bisa ber-istighfar sekaligus ber-isti’azah.
Kendati mbahnya ulama
ikut arus permainan politik praktis, bukan jaminan. Doa umat Islam yang diam
dalam doanya. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar