mentalitas penguasa,
kebal fitnah vs rawan sanjung
NKRI sebagai satu-satunya negara di dunia yang
mempunyai asas: “sedikit api, banyak asap”. Pasal ‘api’ menjadi hak perogatif ketua umum sebuah partai politik. Menggoreng ‘api’ menjadi hak monopoli pemerintah yang tidak dapat pidanakan.
Pemerintah dengan seperangkat kebijakan dapat
membuat langkah politik menjadi konstitusional bulat. Tak perlu mempersoalkan
biaya politik. Sampai ke detil tak peduli dengan pihak mana yang akan
dikorbankan.
Politik adu domba atau devide et impera
peninggalan penjajah Belanda, masih dilanjutkan dengan lebih inténs. Dikarenakan
mental penguasa yang serba merasa paling kuasa.
Era reformasi menjadikan yang berkuasa secara formal,
dejure hanya pada manusia politik, liwat pesta demokrasi. Pihak yang
secara defacto lebih kuasa adalah kawanan yang uangnya tanpa nomor seri
atau manusia ekonomi.
Walhasil, pemerintah gemar main api. Untuk menakuti
lawan politik. Sebagai alat usir binatang politik lain yang lebih agresif. Simbol
keyakinan atas semua tindak yang kebal hukum.
Di balik pernyataan peserta temu tahunan IMF dan
Bank Dunia di Bali Oktober 2018, semakin membuat ukuran kepala penguasa naik drastis.
Dada mengembang. Jidat semakin kinclong. Merasa tak ada duanya, langsung gigi
tiga. Tak merasa jebakan ULN kalau seolah semakin menggiurkan.
Doa anak bangsa pribumi yang masih mempertahankan
kedaulatan bangsa, tak bisa ditipa-tipu oleh aneka modus penuasa. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar