Halaman

Selasa, 09 Oktober 2018

jika ku besar nanti, ku jadi presiden sendiri


jika ku besar nanti, ku jadi presiden sendiri

Lagu anak-anak mengalami revolusi mental. Mengikuti laju peradaban dunia politik Nusantara. Modifikasi dengan tembang, lagu dan lagak lagu sekarang. Menjadi sesuai judul. Soal masuk akal melalui telinga kanan, langsung keluar.

Pendidikan politik tidak berlaku. Sistem karir di industri, panggung, syahwat politik hanya bikin antrian tak jelas nasibnya. Kelengkapan parpol mengacu struktur teritorial sampai kelurahan/desa hanya syarat administrasi. Karir politik mulai dari 0 (nol), tangga pertama, tahap demi tahap, malah membuat basi sebelum beraksi.

Kran demokrasi mengucur deras, pasca bergulirnya reformasi dari puncaknya, 21 Mei 1998. Maraknya partai politik dengan aneka platform menjadikan praktik demokrasi bak hukum rimba. Kedaulatan ada di tangan pemenang pesta demokrasi. Penguasa tingkat kabupaten/kota, tingkatprovinsi maupun penguasa nasional, jelas menjadi penentu nasib daerah, bangsa dan negara selama satu periode atau lima tahun kalender.

Karir politik seorang anak bangsa pribumi ditandai mampu meraih kursi kepala daerah, wakil rakyat dan khususnya sebagai petugas partai setingkat kepala negara atau presiden. Sistem keluarga, dinasti politik semakin menjadikan monopoli pabrik cikal bakal penguasa.

Persaingan mendirikan partai politik kalah pamor dengan langkah politik dengan modus ‘tinggal gelanggang colong playu’. Modal kuat, bisa mendirikan sebuah partai politik. Tanpa idealisme, menjadi perpanjangan tangan pemodal, tampil sebagai ketua umum parpol. Semua sah-sah saja.

Tolok ukur karir politik adalah berhasil meningkatkan status menjadi terpidana tipikor atau pasal pidana lainnya.

Ketika jabatan ketua umum sebuah partai bukan syarat mutlak bisa  ikut pemilihan presiden, muncul revolusi politik pas-pasan. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar