jika ku
besar nanti, ku jadi presiden sendiri
Lagu anak-anak mengalami
revolusi mental. Mengikuti laju peradaban dunia politik Nusantara. Modifikasi
dengan tembang, lagu dan lagak lagu sekarang. Menjadi sesuai judul. Soal masuk
akal melalui telinga kanan, langsung keluar.
Pendidikan politik tidak
berlaku. Sistem karir di industri, panggung, syahwat politik hanya bikin
antrian tak jelas nasibnya. Kelengkapan parpol mengacu struktur teritorial
sampai kelurahan/desa hanya syarat administrasi. Karir politik mulai dari 0
(nol), tangga pertama, tahap demi tahap, malah membuat basi sebelum beraksi.
Kran demokrasi mengucur
deras, pasca bergulirnya reformasi dari puncaknya, 21 Mei 1998. Maraknya partai
politik dengan aneka platform menjadikan praktik demokrasi bak hukum rimba. Kedaulatan
ada di tangan pemenang pesta demokrasi. Penguasa tingkat kabupaten/kota, tingkatprovinsi
maupun penguasa nasional, jelas menjadi penentu nasib daerah, bangsa dan negara
selama satu periode atau lima tahun kalender.
Karir politik seorang
anak bangsa pribumi ditandai mampu meraih kursi kepala daerah, wakil rakyat dan
khususnya sebagai petugas partai setingkat kepala negara atau presiden. Sistem keluarga,
dinasti politik semakin menjadikan monopoli pabrik cikal bakal penguasa.
Persaingan mendirikan
partai politik kalah pamor dengan langkah politik dengan modus ‘tinggal gelanggang
colong playu’. Modal kuat, bisa
mendirikan sebuah partai politik. Tanpa idealisme, menjadi perpanjangan tangan
pemodal, tampil sebagai ketua umum parpol. Semua sah-sah saja.
Tolok ukur karir politik
adalah berhasil meningkatkan status menjadi terpidana tipikor atau pasal pidana
lainnya.
Ketika jabatan ketua
umum sebuah partai bukan syarat mutlak bisa ikut pemilihan presiden, muncul revolusi
politik pas-pasan. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar