Indonesia,
wajah lugumu tampak kuyu
Bukan karena kurang nyenyak, cuma lelap sekejap atau keluar dari mimpi
buruk sebagai juara tunggal. Pasal menahan perasaan atau menjaga perasaan dan
martabat bangsa lain. Juga tidak. Ibu Pertiwi yang biasanya ahli aneka ujaran,
mendadak senyap. Bungkam seribu ucap.
Tak jarang tampilan Indonesia gagah di pembukaan, megah di permukaan.
Semakin masuk, semakin keblusuk. Semakin tunduk manthuk-manthuk sesuai adat
timur, malah semakin ketanduk, kesruduk. Kesalahan bukan pada gangguan fungsi
penciuman, pengendusan.
Apapun yang dimakan, utamakan gaya. Jangan sampai mati gaya. Antar pegaya
dilarang saling mendongkel. Penyuka sesama gaya sah-sah saja berkoalisi, agar
runtuhnya durian ke itu-itu saja. Jika meluber ke bawah, sia-sialah cita-cita
pendiri bangsa. Rakyat di landasan sudah kenyang bahkan jenuh dengan menu
harian berbahan baku Pancasila.
Keluar dari tempurung ideologi, anak bangsa Ibu Pertiwi menghirup udara
segar. Kenyataan hidup menantang disekujur mata menatap. Belum terlambat. Peradaban
bangsa bisa disusun mulai dari nol. Mulai dari langkah awal, rumusan di atas
kertas. Seleksi alam akan membantu proses bijak di landasan.
Perkuatan ideologi bangsa sudah menjadi keniscayaan. Belajar dari sejarah
untuk membuat sejarah masa depan. Tidak ada dosa bawaan. Namun cacat politik
adalah sumber segala sumber kemunduran peradaban bangsa. Sukses manusia politik
berjenjang, terukur dan bersinambungan antar petugas, pelaku, pegiat, penggila.
Nasib bangsa bak lari di tempat. Acara seremonial, kenegaraan menjadi ilusi
politik.
Garangnya kawanan penguasa berarti tanda tak mampu. Menutupi kekurangan diri
dengan aneka lagak, serba gaya. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar