Halaman

Rabu, 03 Oktober 2018

Indonesia, wajah lugumu tampak kuyu


Indonesia, wajah lugumu tampak kuyu

Bukan karena kurang nyenyak, cuma lelap sekejap atau keluar dari mimpi buruk sebagai juara tunggal. Pasal menahan perasaan atau menjaga perasaan dan martabat bangsa lain. Juga tidak. Ibu Pertiwi yang biasanya ahli aneka ujaran, mendadak senyap. Bungkam seribu ucap.

Tak jarang tampilan Indonesia gagah di pembukaan, megah di permukaan. Semakin masuk, semakin keblusuk. Semakin tunduk manthuk-manthuk sesuai adat timur, malah semakin ketanduk, kesruduk. Kesalahan bukan pada gangguan fungsi penciuman, pengendusan.

Apapun yang dimakan, utamakan gaya. Jangan sampai mati gaya. Antar pegaya dilarang saling mendongkel. Penyuka sesama gaya sah-sah saja berkoalisi, agar runtuhnya durian ke itu-itu saja. Jika meluber ke bawah, sia-sialah cita-cita pendiri bangsa. Rakyat di landasan sudah kenyang bahkan jenuh dengan menu harian berbahan baku Pancasila.

Keluar dari tempurung ideologi, anak bangsa Ibu Pertiwi menghirup udara segar. Kenyataan hidup menantang disekujur mata menatap. Belum terlambat. Peradaban bangsa bisa disusun mulai dari nol. Mulai dari langkah awal, rumusan di atas kertas. Seleksi alam akan membantu proses bijak di landasan.

Perkuatan ideologi bangsa sudah menjadi keniscayaan. Belajar dari sejarah untuk membuat sejarah masa depan. Tidak ada dosa bawaan. Namun cacat politik adalah sumber segala sumber kemunduran peradaban bangsa. Sukses manusia politik berjenjang, terukur dan bersinambungan antar petugas, pelaku, pegiat, penggila. Nasib bangsa bak lari di tempat. Acara seremonial, kenegaraan menjadi ilusi politik.

Garangnya kawanan penguasa berarti tanda tak mampu. Menutupi kekurangan diri dengan aneka lagak, serba gaya. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar