kinerja sopir angkot,
menebar sénsasi politik vs menabur séntimén politik
Kata yang punya negara, politik bisa menjadikan
orang sebagai apa saja. Menjadi kelupaan nasional, nasib bangsa ditentukan oleh
manusia politik. Manusia politik di bawah kendali manusia ekonomi. Posisi rakyat
sesuai martabatnya sejak zaman doeloe.
Bangkit dan majunya suatu negara, karena daya juang
dan pengorbanan rakyat. Tolok ukur negara berkembang, berkemajuan karena ada
pergerakan dari bawah. Bukan kehirukpikukan penguasa liwat pesta demokrasi lima
tahunan.
Pergolakan sesungguhnya karena praktik politik menjadi
ajang tarung bebas. Pesta demokrasi menjadi adu emosi, bukan mengedepankan
rasionalitas. Indonesia tersanjung, dianggap sebagai mitra IMF. Semakin disanjung
semakin tersandung. Manusia politik siap bertindak gaya apa saja. Siap memerankan
peran apa saja. Asal bayarannya cocok.
Namanya politik, semakin tenggelam semakin asyik. Tak
pandang bulu. Rakyat sipil maupun mantan angkatan, kalau sudah berpolitik lupa
berdiri. Selain kaki dan tangan seolah menjadi pesaing. Acap tangan kanan tidak
serta percaya pada tangan kiri. Ironis binti miris, kaki kanan mengajak ke arah
kebaikan. Kaki kiri lebih memilih jalan yang tampak mulus, menggiurkan. Akhirnya,
terpaksa ambil jalan tengah. Siap skenario dua periode, agar modal bertambah. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar