Halaman

Kamis, 18 Oktober 2018

penguasa tak akan (bisa) sembunyi tangan, cuci tangan


penguasa tak akan (bisa) sembunyi tangan, cuci tangan

Wajar, di éra mégatéga, aneka kejadian perkara dunia sebagai konsekuensi logis hidup berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Saking sibuknya penguasa mengurus negara, tak terasa ada peringatan dini dari Ibu Pertiwi.

Di hutan larangan, rimba tak bertuan, padang tanpa batas pandang ideologi Nusantara, gembala atau serigala berbulu domba, dengan segala keahliannya, semakin mendapat tempat. Dukungan berlimpah dari investor politik lokal, interlokal, regional, nasional, multinasional tak kunjung surut.

Efék domino perjanjian dengan setan lama maupun persepakatan dengan setan di éra mégatéga, tentu tak ada yang gratis. Operasi 24 jam, sebelum anak bangsa pribumi Nusantara menjadi pengikut setianya. Sebelum Ibu Pertiwi berubah wujud menjadi dewi-dewi khayangan.

Efék domino cerdas ideologi, muncul aroma irama drama politik yang menterjemahkan kedaulatan – kekuasaan menyelenggarakan negara – ada di tangan juara umum, pemenang pertama pesta demokrasi. Diperjelas, pemenang otomatis berhak mendapat jatah utama, porsi terbesar, bagian terbanyak.

Betapa cerdasnya bangsa Indonesia. Bukan karena jenuh mengkonsumsi pahitnya asam  kehidupan dan manisnya garam impor. Semangkin banyak acuan, pedoman, kode etik, aturan main untuk main politik, malah menjadikan petugas partai semakin membabi buta. Tak urung, loyalis penguasa bak pemakan segala. Bak babi kesurupan. Bak setan kemanusiaan. Binatang politik menjadi raja hutan di belantara Nusantara.

Bangganya NKRI sebagai satu-satunya negara di dunia yang mempunyai asas: “sedikit api, banyak asap”. Pasal ‘api’ menjadi hak prerogatif ketua umum sebuah partai politik. Menggoreng ‘api’ menjadi hak monopoli pemerintah atau penguasa yang tidak dapat pidanakan. Asap politik yang dominan berwarna merah. Merahnya Merah-Putih semakin merah. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar