penguasa tak akan (bisa)
sembunyi tangan, cuci tangan
Wajar, di éra mégatéga, aneka kejadian perkara
dunia sebagai konsekuensi logis hidup berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Saking
sibuknya penguasa mengurus negara, tak terasa ada peringatan dini dari Ibu
Pertiwi.
Di hutan larangan, rimba tak bertuan, padang tanpa
batas pandang ideologi Nusantara, gembala atau serigala berbulu domba, dengan
segala keahliannya, semakin mendapat tempat. Dukungan berlimpah dari investor
politik lokal, interlokal, regional, nasional, multinasional tak kunjung surut.
Efék domino perjanjian dengan setan lama maupun
persepakatan dengan setan di éra mégatéga, tentu tak ada yang gratis. Operasi
24 jam, sebelum anak bangsa pribumi Nusantara menjadi pengikut setianya. Sebelum
Ibu Pertiwi berubah wujud menjadi dewi-dewi khayangan.
Efék domino cerdas ideologi, muncul aroma irama
drama politik yang menterjemahkan kedaulatan – kekuasaan menyelenggarakan
negara – ada di tangan juara umum, pemenang pertama pesta demokrasi.
Diperjelas, pemenang otomatis berhak mendapat jatah utama, porsi terbesar,
bagian terbanyak.
Betapa cerdasnya bangsa Indonesia. Bukan karena jenuh
mengkonsumsi pahitnya asam kehidupan dan
manisnya garam impor. Semangkin banyak acuan, pedoman, kode etik, aturan main
untuk main politik, malah menjadikan petugas partai semakin membabi buta. Tak
urung, loyalis penguasa bak pemakan segala. Bak babi kesurupan. Bak setan
kemanusiaan. Binatang politik menjadi raja hutan di belantara Nusantara.
Bangganya NKRI sebagai satu-satunya negara di dunia
yang mempunyai asas: “sedikit api, banyak asap”. Pasal ‘api’ menjadi hak prerogatif ketua umum sebuah partai politik. Menggoreng ‘api’ menjadi hak monopoli pemerintah atau penguasa yang tidak dapat pidanakan.
Asap politik yang dominan berwarna merah. Merahnya Merah-Putih semakin merah. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar