Halaman

Rabu, 03 Oktober 2018

di bawah tempurung demokrasi tong-tong


di bawah tempurung demokrasi tong-tong

Ambiguitas praktik demokrasi, memang tak seindah aslinya. Lebih asyik dengan gudang teorinya. Unsur keteladanan, panutan memang minim. Tapi selalu dibutuhkan oleh manusia politik segala sekte. Mujarab memang mujarab, tapi untuk luka luar yang tidak membahayakan wibawa negara.

Tergantung orangnya yang mau mempraktikkan demokrasi. Mirip dengan siapa saja yang niat merumuskan Pancasila. Praktik demokrasi sesuai kapasitas pelaku. Terkait bentuk pesta demokrasi. Tidak bebas, sudah ada panduan dari partai politik. Bukannya parpol mengambil alih. Efek domino dari negara multipartai.

Jangan diartikan nasib bangsa tergantung kebaikan hati, kemurahan hati kawanan parpolis. Politik feodal menjadikan siapa yang pernah berkuasa, akan merasa betah. Merasa negara sebagai hak milik keluarga. Adonan politik macam ini menjadikan KKN tetap eksis, berkibar, sambung menyambung ke ahli waris.

  Perjalanan sejarah nasional semakin mewujudkan praktik republik monarki tanpa gaya. Pembagian kekuasaan akan menentukan modus pemilihan umum. Sudah kebaca. Model hitung mundur. Seperti menulis sejarah. Bukti lapangan, fakta konstitusional ditentukan di awal, baru disusun narasinya. Koq bisa. Namanya politik yang ahli keahliaan apapun. Koq téga. Namanya politik harus punya rasa serbatéga, anékatega, mégatéga di atas peradaban Nusantara.

Meriah benar pesta demokrasi di babak akhir periode 2014-2019. Membuktikan waktu efektif hanya di paruh pertama. Kebijakan alam ikut bicara. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar