di
bawah tempurung demokrasi tong-tong
Ambiguitas praktik demokrasi, memang tak seindah aslinya. Lebih asyik
dengan gudang teorinya. Unsur keteladanan, panutan memang minim. Tapi selalu
dibutuhkan oleh manusia politik segala sekte. Mujarab memang mujarab, tapi
untuk luka luar yang tidak membahayakan wibawa negara.
Tergantung orangnya yang mau mempraktikkan demokrasi. Mirip dengan siapa
saja yang niat merumuskan Pancasila. Praktik demokrasi sesuai kapasitas pelaku.
Terkait bentuk pesta demokrasi. Tidak bebas, sudah ada panduan dari partai
politik. Bukannya parpol mengambil alih. Efek domino dari negara multipartai.
Jangan diartikan nasib bangsa tergantung kebaikan hati, kemurahan hati
kawanan parpolis. Politik feodal menjadikan siapa yang pernah berkuasa, akan
merasa betah. Merasa negara sebagai hak milik keluarga. Adonan politik macam
ini menjadikan KKN tetap eksis, berkibar, sambung menyambung ke ahli waris.
Perjalanan sejarah nasional semakin mewujudkan
praktik republik monarki tanpa gaya. Pembagian kekuasaan akan menentukan modus
pemilihan umum. Sudah kebaca. Model hitung mundur. Seperti menulis sejarah. Bukti
lapangan, fakta konstitusional ditentukan di awal, baru disusun narasinya. Koq bisa.
Namanya politik yang ahli keahliaan apapun. Koq téga. Namanya politik harus punya
rasa serbatéga, anékatega, mégatéga di atas peradaban Nusantara.
Meriah benar pesta demokrasi di babak akhir periode 2014-2019. Membuktikan waktu
efektif hanya di paruh pertama. Kebijakan alam ikut bicara. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar