Halaman

Senin, 01 Oktober 2018

urusan perut, lihat mulut sendiri


urusan perut, lihat mulut sendiri

Wajar jika kisah wayang banyak  versinya. Tergantung lokus atau tempat kejadian perkara. Diperkuat pihak yang ingin mengkisahkannya. Bagaimana interaksi modus manusia di bumi dengan babakan skenario petugas wayang di panggung dunia.

Siklus hidup manusia, mata rantai kehidupan manusia, tata niaga nilai-nilai kemanusiaan yang mengembara di manusia, tidak bisa disamaratakan. Bukan hanya itu, tidak demikian mudah ditarik benang merahnya. Asumsi atau kesimpulan, maupun anomali serta sentimen yang tak berujung pangkal.

Perwatakan yang menjadi pakem, standar wayang, ternyata kalah segala-galanya dengan kejadian nyata di alam manusia. Iblis, setan, jin terkadang kalah lihai dengan tipudaya, rekadaya, anekaperdaya yang dipraktikkan manusia.  

Anak bangsa pribumi, kaum bumiputera, putra putri asli daerah mampu melakoni adegan, acara, atraksi apa saja. Kapan saja. Di mana saja. Sampai-sampai mereka sendiri tak tahu sedang memerankan apa, emmainkan lakon apa. Terlebih jika kontrak politik tersirat imbalan dunia di luar angan-angannya.

Bermula dari budaya, menyekolahkan anaknya agar jadi orang. Agar tidak bodoh. Revolusi budaya dilengkapi revolusi mental, banyak setelah jadi orang, lantas mau jadi apa lagi. Terlebih sudah merasa pintar, cerdas, pandai.

Grafik karir manusia politik merupakan kurve normal. Klimak, titik puncak, kulminasi atas pada posisi wakil rakyat, kepala daerah, pembantu presiden bahkan presiden atau petugas partai. Setelah itu bisa terjun bebas tak bertuan.

Pergolakan antar manusia politik, bak buih, busa di ombak bebas aktif. Sampai kedalaman dasar samudera, akar rumput, tetap adem ayem. Bukan berarti bebas bencana politik buatan manusia.

Secara periodik terjadi pergantian busa, buih ombak kehidupan. Mereka yang membutuhkan dukungan rakyat agar tetap eksis. Bukan sebaliknya. Mengkhianati kepercayaan rakyat, jelas bukan akibat dari hasutan, bisikan, bujuk rayu, ajakan iblis dengan koalisi, kroninya.

Sadar diri rakyat dengan posisinya, tetap teguh menegakkan keutuhan NKRI. Diamnya rakyat yang pemaklum, membuat suara langit yang bicara. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar