Halaman

Minggu, 07 Oktober 2018

susah menjadi anak saleh, bersahabatlah dengannya

susah menjadi anak saleh, bersahabatlah dengannya

Peran utama anak saleh, yang selalu mendoakan orang tuanya, lebih dari 5x sehari. Kalau kurang atau pas, masuk kategori ringan sebagai anak durhaka. Tega-teganya dan kok bisa.. Tidak pakai hitungan kerapan maupun waktu doa. Posisi anak saleh sebagai orang tua dari anak keturunannya. Melanjutkan tradisi kesalehan yang siap berbenturan dengan laju zaman.

Pernikahan yang mempertemukan dua keluarga gesar. Suami dan isteri memadukan pengalaman sebagai anak saleh untuk menyiapkan anak saleh. Mensinerjikan dua potensi yang pada kondisi tertentu memang tidak menyatu. Sama-sama dipakai untuk membentuk generasi siap laga, siaga tanding, sigap tarung di zamannya.

Akumulasi dari kesalehan ibu dan bapak, sebagi modal dasar pembentukan anak saleh.

Betul. Pengertian anak saleh, tentu menyangkut diri sebagai orang saleh. Tak bisa dipungkiri jika terjadi kenapa kesalehannya hanya dimiliki sendiri. Bapaknya bergelar akademis sebagai bukti derajat keilmuannya. Belum tentu anaknya berhal demikian. Bisa sebaliknya.

Contoh sederhana di dunia milier, bapaknya jenderal belum tentu anaknya bisa jadi jenderal. Kalau terjadi, dianggap wajar. Darah militer menurun ke anaknya, terwariskan secara genetik.

Menjadi orang saleh bisa dibentuk dengan atau karena derajat keilmuan, termasuk ilmu agama.melalui proses pendidikan agama, di dalam negeri maupun luar negeri. Khususnya dari negara sumber dan cikal bakal agama Islam.

PR besar sebagai orang saleh adalah suksesi hijrah ke kesalehan sosial.

Jelas, orang saleh bukan jabatan formal. Bukan salah zaman, jika ada kemiripan antara orang saleh dengan orang berilmu (konotasi, stigma tertentu). Tidak akan saya lanjut uraikan. Ilmu saya belum cukup untuk menuliskannya. Membayangkan saja tak kuasa.

Orang saleh memang terikat, terkait dengan praktik iman dan Islamnya seseorang. Terpancar dari raut muka yang bercahaya. Sosok tubuh yang tegas. Tampilan kata, ucap, lagu, bunyi yang nyaman di indra kita.

Di mama pun kehadirannya, tanpa diperkenalkan, auranya terasa bagi lingkungan. Mungkin tampilan fisik, tak dibalut dengan busana beratribut Islam. Tata rambut memang berbeda dengan umat agama di luar agama Islam. Di akhirat kelak, Rasulullah saw bisa menandai mana umatnya.

Di komunitas, lingkungan hidup kita. Tak sadar masih ada yang ingin menunjukkan rasa ‘siapa aku’. Ada yang pakai gaya low profile, biar dikira merakyat. Pakai celana pendek. Lelaki Islam dengan kadar keimanannya, memahami penjagaan penampilan lutut sampai pusat. Bukan untuk menutupi lutut menghitam karena efek gerakan sholat.

Aura, pancaran keimanan menjadi ciri. Panutan rujukan utama kita adalah sosok Rasulullah saw.

Bagi penulis, terkesan dengan bagaimana atau cara Rasulullah saw berjalan.

Adakah imbas jika kita dekat-dekat dengan orang saleh. Bahkan dianjurkan. Sisi lain menyuratkan sekaligus menyiratkan, bagaimana keimanan seseorang, lihat dengan siapa dia berteman. Bukan pilah pilih teman. Teman gaul untuk urusan akhirat pilih secara inténs. Tidak hanya sekedar berteman. Bangun acara dialog, diskusi, debat untuk menjaga kualitas taqwa.

Malu bertanya tanda tak gaul. Justru, di kumpulan orang yang mana di mana orang yang vokal, menjadi pusat perhatian. Lepas dari substansi yang dibeberkannya. Agar tak terhanyut obrolan dan obralan kata, disiasati dengan pura-pura sibuk dengan ber-HP ria. Sesekali senyum-senyum sendiri tanpa arti. Tapi penuh gaya. Penuh kepura-puraan.

Jadi, pastikan pilah pilih kawan, teman gaul yang nantinya akan memberi kita syafaat di akhirat. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar