Halaman

Minggu, 28 Oktober 2018

politik rubuh-rubuh gedang


politik rubuh-rubuh gedang

Bukannya tak peduli atas kejadian perkara di depan mata. Bukannya tak mau menolong, mengulurkan tangan, membantu. Bukannya tak punya sifat dan rasa sosial yang menjadi karakter bangsa pribumi.

Yang “ditakuti” orang untuk berbuat baik di atas, karena takut malah jadi korban. Paling ringan malah dijadikan saksi mata atas peristiwa. Sikap aman adalah pura-pura tak tahu. Lagi sibuk dengan status yang lebih penting.

Éfék domino revolusi mental tanpa jilid, menjadikan praktik gotong royong lebih selektif dan pandang bulu. Terlebih jika duduk perkara muncul dari atas. Minimal ada aktor intelektual di bawah perlindungan pasal konstitusional.

Semua kejadian tampak berpasangan. Ketika ulama dikriminalisasi, namun di sisi lain marak ulama istana unjuk gigi. Kawanan ormas Islam dengan nomenklatur ‘ulama’ dielus-elus. Ibarat mencet tombol kendali mutu. Efeknya nyata dan begitulah harapan si empunya hajat.

Bentuk lain dengan penetapan hari santri Nusantara, sejaka awal periode, sarat dengan strategi politik.

Jangan lupa. Pihak yang merasa nikmat dininabobokan, lantang berujar adanya Islam Nusantara versi potong bébék angsa.. Pengejawantahan bahwa ulama, santri itu (harus) wong Jawa..

Pasal pembakaran bendera tauhid, hanya sebatas kenakalan generasi yang kurang akal. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar