politik rubuh-rubuh
gedang
Bukannya tak peduli atas kejadian
perkara di depan mata. Bukannya tak mau menolong, mengulurkan tangan, membantu.
Bukannya tak punya sifat dan rasa sosial yang menjadi karakter bangsa pribumi.
Yang “ditakuti” orang untuk berbuat
baik di atas, karena takut malah jadi korban. Paling ringan malah dijadikan
saksi mata atas peristiwa. Sikap aman adalah pura-pura tak tahu. Lagi sibuk
dengan status yang lebih penting.
Éfék domino revolusi mental tanpa
jilid, menjadikan praktik gotong royong lebih selektif dan pandang bulu. Terlebih
jika duduk perkara muncul dari atas. Minimal ada aktor intelektual di bawah
perlindungan pasal konstitusional.
Semua kejadian tampak berpasangan. Ketika
ulama dikriminalisasi, namun di sisi lain marak ulama istana unjuk gigi. Kawanan
ormas Islam dengan nomenklatur ‘ulama’ dielus-elus. Ibarat mencet tombol
kendali mutu. Efeknya nyata dan begitulah harapan si empunya hajat.
Bentuk lain dengan penetapan hari
santri Nusantara, sejaka awal periode, sarat dengan strategi politik.
Jangan lupa. Pihak yang merasa
nikmat dininabobokan, lantang berujar adanya Islam Nusantara versi potong bébék
angsa.. Pengejawantahan bahwa ulama, santri itu (harus) wong Jawa..
Pasal pembakaran bendera tauhid, hanya
sebatas kenakalan generasi yang kurang akal. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar