Halaman

Kamis, 11 Oktober 2018

3 daya tanggap penguasa atas kritikan


3 daya tanggap penguasa atas kritikan

Dugaan pembaca tak salah duga. Dengar kata ‘penguasa’, konotasinya mleayang ke dunia hitam. Mirip film barat, western. Orang atau kelompok yang kebal hukum. Mereka dikenal dekat dengan hamba hukum. Minimal mampu menjaga jarak dengan pemimpin formal daerah atau bahkan negara.

Jago tembak, ahli adu jotos serta biang kerok, biang keladi masalah bangsa. Kekuasaan diperoleh secara turun temurun, tradisi keluarga, warisan. Trah bromocorah pernah merajai cerita Ketoprak Jawa.

Bedanya, penguasa dunia kriminal memang tak ada periode waktu jabatan. Selain ada ‘putera mahkota’, mereka menggalang orang kepercayaan bermain di semua lini. Daya cengkeram mereka sampai level paling bawah. Model bagi sembako gratis. Ke atas utawa daya jangkau, mereka tak sungkan, malu, risi, terang-terangan pasok dan kirim upeti.

Pembaca yang budiman maupun dengan predikat budi yang lain,

Sudah 3 alenia, rasanya belum menyentuh substansi judul. Betul. Agar pembaca terkondisikan kecerdasannya. Saat menghadapi lawan politk atau pihak yang tak mau dirangkul, penguasa dimaksud` tak mau repot. Bukan sekedar memukul pinjam tangan. Agar tampak gensi akademisnya nyata, mereka justru mengundang kelompok abu-abu.

Kelompok dimaksud, sesuai pakem ketoprak Jawa versi Jawa yang Jawa, tampangnya sekutu tetap praktiknya seteru. Sebaliknya, wajah seteru namun diam-diam sama-sama bangsat. Tahu sama tahu. Saling menghargai teritorial atau komoditas yang ditekuni.

Ternyata, hasil liputan tukang pengganda berita yang dipelihara oleh penguasa formal. Penguasa dunia hitam, dunia malam, di balik layar saat mendapat sanjungan akan menyimak, sambil dahi berkerut tanda berpikir berat. Reaksi penguasa, tampak santai tapi merekam dengan cermat. Langsung bereaksi.

Pertama. Jika ahli aneka ujaran kritik, tampak berposisi sebagai pendengar yang baik. Penguasa semakin bebas  buka mulut luas sampai kata tuntas. Side A habis, lanjut ke Side B. Lanjut ke volume II. Yang diomongkan cuma ada 3 (tiga) keluhan. Diulang dengan urutan berbeda. Tangan ikut bermain.

Kedua. Ternyata ahli cuap, ucap hanya menjaga perasaan. Berbasa-basi menjaga situasi percakapan tidak cepat basi. Penguasa tak merasa kalau kemakan umpan untuk mengeluarkan isi hatinya. Mengeluarkan jurus rahasia, dalil rumit. Semakin mulut berbusa, terkekeh, semakin memang pamèr bégo.

Ketiga. Di luar dugaan. Sang pengkritik tahu diri. Pandai-pandai mengolah acara agar penguasa tampak sibuk dengan nilai diri, wibawa diri, pesona diri. Bukan kombinasi pertama dengan kedua. Juga bukan resultantenya. Penguasa akhirnya tampak gagah dan gigih, bisa memainkan semua peran.

Jadi, . . .  [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar