3 daya tanggap penguasa
atas kritikan
Dugaan pembaca tak salah duga. Dengar kata
‘penguasa’, konotasinya mleayang ke dunia hitam. Mirip film barat, western.
Orang atau kelompok yang kebal hukum. Mereka dikenal dekat dengan hamba hukum.
Minimal mampu menjaga jarak dengan pemimpin formal daerah atau bahkan negara.
Jago tembak, ahli adu jotos serta biang kerok,
biang keladi masalah bangsa. Kekuasaan diperoleh secara turun temurun, tradisi
keluarga, warisan. Trah bromocorah pernah merajai cerita Ketoprak Jawa.
Bedanya, penguasa dunia kriminal memang tak ada
periode waktu jabatan. Selain ada ‘putera mahkota’, mereka menggalang orang
kepercayaan bermain di semua lini. Daya cengkeram mereka sampai level paling
bawah. Model bagi sembako gratis. Ke atas utawa daya jangkau, mereka tak
sungkan, malu, risi, terang-terangan pasok dan kirim upeti.
Pembaca yang budiman maupun dengan predikat budi
yang lain,
Sudah 3 alenia, rasanya belum menyentuh substansi
judul. Betul. Agar pembaca terkondisikan kecerdasannya. Saat menghadapi lawan
politk atau pihak yang tak mau dirangkul, penguasa dimaksud` tak mau repot.
Bukan sekedar memukul pinjam tangan. Agar tampak gensi akademisnya nyata,
mereka justru mengundang kelompok abu-abu.
Kelompok dimaksud, sesuai pakem ketoprak Jawa versi
Jawa yang Jawa, tampangnya sekutu tetap praktiknya seteru. Sebaliknya, wajah
seteru namun diam-diam sama-sama bangsat. Tahu sama tahu. Saling menghargai
teritorial atau komoditas yang ditekuni.
Ternyata, hasil liputan tukang pengganda berita yang
dipelihara oleh penguasa formal. Penguasa dunia hitam, dunia malam, di balik
layar saat mendapat sanjungan akan menyimak, sambil dahi berkerut tanda
berpikir berat. Reaksi penguasa, tampak santai tapi merekam dengan cermat.
Langsung bereaksi.
Pertama. Jika ahli aneka ujaran kritik, tampak
berposisi sebagai pendengar yang baik. Penguasa semakin bebas buka mulut luas sampai kata tuntas. Side A
habis, lanjut ke Side B. Lanjut ke volume II. Yang diomongkan cuma ada 3 (tiga)
keluhan. Diulang dengan urutan berbeda. Tangan ikut bermain.
Kedua. Ternyata ahli cuap, ucap hanya menjaga
perasaan. Berbasa-basi menjaga situasi percakapan tidak cepat basi. Penguasa
tak merasa kalau kemakan umpan untuk mengeluarkan isi hatinya. Mengeluarkan
jurus rahasia, dalil rumit. Semakin mulut berbusa, terkekeh, semakin memang
pamèr bégo.
Ketiga. Di luar dugaan. Sang pengkritik tahu diri.
Pandai-pandai mengolah acara agar penguasa tampak sibuk dengan nilai diri,
wibawa diri, pesona diri. Bukan kombinasi pertama dengan kedua. Juga bukan
resultantenya. Penguasa akhirnya tampak gagah dan gigih, bisa memainkan semua
peran.
Jadi, . . . [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar