Halaman

Kamis, 18 Oktober 2018

profil generasi pribumi loyalis penguasa Nusantara, hemat otak vs boros otot


profil generasi pribumi loyalis penguasa Nusantara, hemat otak vs boros otot

Berhala reformasi 3K (kuasa, kaya, kuat) semakin merebak, penganutnya sulit ditebak. Bagi wong cilik, mereka tak perlu pikir panjang memberhalakan, mengkultuskan oknum atau pihak yang mampu bagi sembako. Diajak makan siang gratis, langsung patuh, tunduk, taat, setia, taat dan tentunya loyal.

Kasta tertentu, yang semula jaga jarak aman. Begitu dapat kursi cadangan, sudah sangat teramat girang. Langsung tunjukkan loyalitas total, 24 jam. Siap pasang badan, unjuk taring, pasang tanduk. Tidak ada niat membangkang, mbalélo. Tak terlintas di beanknya untuk menyalip di tikungan. Menelikung dari dalam. Mengkungkung dalam lipatan.

Dua alenia di atas, masih banyak contoh yang masih terjadi. Belum dapat diambil kesimpulan narasinya. Belum bisa ditarik benang merahnya. Periode 2014-2019 sedang klimaks jelang babak final. Mendadak santun, alim, ramah dan padanan lainnya, bisa terjadi dan pasti akan terjadi.

Ingat judul “aksi garang penguasa tanda tak dalam”. Rakyat heran. Di mana Jokowi plus/minus JK nemu orang, terus dijadikan pembantu presiden. Atau secara perseorang dilantik oleh presiden. Sampai-sampai presiden kelima yang sekaligus wakil presiden kedelapan, mau-maunya turun strata menjadi kepala Pancasila banget yang hanya setingkat menteri.

Terpaksa memplagiat olahkata sendiri. “bonus idélogi non-Pancasila, tak pakai lama vs tidak perlu mikir”.

Praktik demokrasi Nusantara menghadirkan aneka aksi. Antara yang aneh dan lucu menjadi terpadu padan, seimbang. Antara yang menggelikan dan menjengkelkan sulit dibedakan. Antara yang rekayasa, manipulasi, modus dengan spontanitas, alami, wajar nyaris satu panggung. Tergantung persepsi mata telinga penggugah atau yang merasa tergugah.

Rasa muak, mual, mulas diaduk menjadi satu kesatuan dengan rasa haru, iba melihat tindak tanduk, tingkah polah manusia politik yang sedang berkuasa.

Rakyat sulit melupakan peribahasa Jawa: asu gedhé menang kerahé.

Daripada menggalang kekuatan dalam negeri dengan modus kompromi. Menganut asas sistem bagi hasil, pola ganti untung, arisan kesempatan, sistem kompensasi. Tak melanggar pasal jika bekerja sama, sama-sama bekerja dengan pihak asing, kekuatan asing. Walau diutamakan kompenen lokal.

Merasa mengkantongi tiket terusan, semua sudah diatur dengan seksama. Njlimet sampai urusan tètèk bengèk. Merasa semua sudah diijon. Digadang agar nantinya jangan jadi penghalang, penghadang.

Akhir olahkata. “pada galibnya, hoaks adalah produk unggulan penguasa”.

Bukan asumsi. Bukan fakta. Bukan barang bukti. Walhasil di periode 2014-2019, terlacak mulai tenarnya ujaran kebencian. Digoreng oleh pihak polisi dalam negeri. Sesuai rencana A, lahirlah oknum penista agama. Apakah termasuk ‘resep tradisional’ untuk menciptakan suasana tertentu. Hanya sopir bajaj yang tahu. Tentu ada yang tinggal panen. Umpan langsung disergap tuntas.  

Peribahasa yang mengalami proses peradaban adalah “belum meminang sudah menimang”. Belum menanam sudah panen. Jelas tak ada kaitan dengan daya ideologi anak bangsa. Tak perlu keringat, kursi datang sendiri. Opo tumon.

Momentum jelang 2019, banyak pihak tidak hanya aji mumpung, ambil kesempatan dalam kesempitan akal pihak tertentu. Dengan melontar sanjungan, padahal bak lempar batu sembunyi tangan. Dengan menganugerahi gelar tanpa gelar, agar tetap masuk barisan. Tidak terdegradasi karena kurang upeti.

Kepekaan sedemikan rinci, sehingga setiap hembusan berita ditanggapi dengan cerdas. Secerdas ikan mendekati umpan. Atau gagahnya ayam jantan yang mengepakkan sayap. Pilih tanding.

Jadi, selagi ada penabur dan penebar atau pengganda berita. Wallahu a’lam bisshawab. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar