profil generasi pribumi
loyalis penguasa Nusantara, hemat otak vs boros otot
Berhala reformasi 3K (kuasa, kaya, kuat) semakin
merebak, penganutnya sulit ditebak. Bagi wong cilik, mereka tak perlu pikir
panjang memberhalakan, mengkultuskan oknum atau pihak yang mampu bagi sembako. Diajak
makan siang gratis, langsung patuh, tunduk, taat, setia, taat dan tentunya
loyal.
Kasta tertentu, yang semula jaga jarak aman. Begitu
dapat kursi cadangan, sudah sangat teramat girang. Langsung tunjukkan loyalitas
total, 24 jam. Siap pasang badan, unjuk taring, pasang tanduk. Tidak ada niat
membangkang, mbalélo. Tak terlintas di beanknya untuk menyalip di tikungan. Menelikung dari
dalam. Mengkungkung dalam lipatan.
Dua alenia di atas, masih banyak contoh yang masih
terjadi. Belum dapat diambil kesimpulan narasinya. Belum bisa ditarik benang
merahnya. Periode 2014-2019 sedang klimaks jelang babak final. Mendadak santun,
alim, ramah dan padanan lainnya, bisa terjadi dan pasti akan terjadi.
Ingat judul “aksi garang penguasa tanda tak dalam”.
Rakyat heran. Di mana Jokowi plus/minus JK nemu orang, terus dijadikan pembantu
presiden. Atau secara perseorang dilantik oleh presiden. Sampai-sampai presiden
kelima yang sekaligus wakil presiden kedelapan, mau-maunya turun strata menjadi
kepala Pancasila banget yang hanya setingkat menteri.
Terpaksa memplagiat olahkata sendiri. “bonus idélogi non-Pancasila, tak pakai lama vs tidak perlu mikir”.
Praktik demokrasi Nusantara menghadirkan aneka
aksi. Antara yang aneh dan lucu menjadi terpadu padan, seimbang. Antara yang
menggelikan dan menjengkelkan sulit dibedakan. Antara yang rekayasa,
manipulasi, modus dengan spontanitas, alami, wajar nyaris satu panggung.
Tergantung persepsi mata telinga penggugah atau yang merasa tergugah.
Rasa muak, mual, mulas diaduk menjadi satu kesatuan
dengan rasa haru, iba melihat tindak tanduk, tingkah polah manusia politik yang
sedang berkuasa.
Daripada menggalang kekuatan dalam negeri dengan
modus kompromi. Menganut asas sistem bagi hasil, pola ganti untung, arisan
kesempatan, sistem kompensasi. Tak melanggar pasal jika bekerja sama, sama-sama
bekerja dengan pihak asing, kekuatan asing. Walau diutamakan kompenen lokal.
Merasa mengkantongi tiket terusan, semua sudah
diatur dengan seksama. Njlimet sampai urusan tètèk bengèk. Merasa semua sudah
diijon. Digadang agar nantinya jangan jadi penghalang, penghadang.
Akhir olahkata. “pada galibnya, hoaks adalah produk unggulan penguasa”.
Bukan asumsi. Bukan fakta. Bukan barang bukti.
Walhasil di periode 2014-2019, terlacak mulai tenarnya ujaran kebencian.
Digoreng oleh pihak polisi dalam negeri. Sesuai rencana A, lahirlah oknum
penista agama. Apakah termasuk ‘resep tradisional’ untuk menciptakan suasana
tertentu. Hanya sopir bajaj yang tahu. Tentu ada yang tinggal panen. Umpan
langsung disergap tuntas.
Peribahasa yang mengalami proses peradaban adalah “belum meminang sudah menimang”. Belum menanam sudah panen. Jelas tak ada kaitan
dengan daya ideologi anak bangsa. Tak perlu keringat, kursi datang sendiri. Opo
tumon.
Momentum jelang 2019, banyak pihak tidak hanya aji mumpung, ambil
kesempatan dalam kesempitan akal pihak tertentu. Dengan melontar sanjungan, padahal
bak lempar batu sembunyi tangan. Dengan menganugerahi gelar tanpa gelar, agar
tetap masuk barisan. Tidak terdegradasi karena kurang upeti.
Kepekaan sedemikan rinci, sehingga setiap hembusan berita ditanggapi dengan
cerdas. Secerdas ikan mendekati umpan. Atau gagahnya ayam jantan yang
mengepakkan sayap. Pilih tanding.
Jadi, selagi ada penabur dan penebar atau pengganda
berita. Wallahu a’lam bisshawab. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar