Halaman

Senin, 29 Oktober 2018

dialéktika generasi Nusantara, sarat status vs surut jati diri


dialéktika generasi Nusantara, sarat status vs surut jati diri

Mengacu ukuran lingkar perut, lingkar dada dan lingkar kepala akan diperoleh prakiraan watak anak bangsa pribumi. Pakai standar lokal, atau rata-rata nasional. Tak elok jika iri dengan standar tetangga. Tak ada kaitan dengan pasal adil, makmur, sejahtera.

Penentuan kriteria generasi bukan pada batasan umur dan atau usia. Perhatikan juga ukuran sepatu, ratio BB yang berat badan maupun bau badan serta kandungan komponen lokal.

Aneka pencitraan, penamaan, penyebutan, julukan, predikat generasi Nusantara di periode 2014-2019, bersifat suka-suka yang punya mulut. Menjadi bukti ringan walau tanpa survei. Dikemas apa adanya. Setiap saat nilai jual, nilai tukar bisa berubah tanpa berita resmi dari pemerintah.

Adonan menu politik aneka rasa menjadi pemacu dan pemicu tarik ulur antara status vs jati diri. Generasi bangkotan, bau tanah tak kalah genit, tak kalah binal dengan anak kemarin sore, bau kencur. Terasa nyata di dinasti politik, pewaris kekuasaan maupun anak cucu ideologis atau trah darah politik.

Antar generasi bukannya tak ada benang merah. Ikatan moral yang terjadi adalah ikatan semu. Ikatan emosi yang terjalin malah menjadikan siapa saja sebagai lawan, musuh, seteru. Semua bisa bermain di semua lini. Tak sadar siap jadi apa saja.

Merasa bebas. Semakin kepala tengadah, mendongak semakin terasa ukuran sepatu mengecil. Semakin dada membusung, membuncit semakin terasa lidah pipih dan meruncing. Kalau perut bagimana kawan.

Isi dan ukuran perut manusia menandakan jati diri, eksistensi, harga diri. Begah, kembung, gendut menjurus ke tambun, dari aspek pewayangan, masuk tipe raksasa. Minimal berwatak raksasa. Beda dengan punakawan, busung kentut. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar