dialéktika generasi
Nusantara, sarat status vs surut jati diri
Mengacu ukuran lingkar perut, lingkar dada dan
lingkar kepala akan diperoleh prakiraan watak anak bangsa pribumi. Pakai standar
lokal, atau rata-rata nasional. Tak elok jika iri dengan standar tetangga. Tak ada
kaitan dengan pasal adil, makmur, sejahtera.
Penentuan kriteria generasi bukan pada batasan umur
dan atau usia. Perhatikan juga ukuran sepatu, ratio BB yang berat badan maupun
bau badan serta kandungan komponen lokal.
Aneka pencitraan, penamaan, penyebutan, julukan,
predikat generasi Nusantara di periode 2014-2019, bersifat suka-suka yang punya
mulut. Menjadi bukti ringan walau tanpa survei. Dikemas apa adanya. Setiap saat
nilai jual, nilai tukar bisa berubah tanpa berita resmi dari pemerintah.
Adonan menu politik aneka rasa menjadi pemacu dan
pemicu tarik ulur antara status vs jati diri. Generasi bangkotan, bau tanah tak
kalah genit, tak kalah binal dengan anak kemarin sore, bau kencur. Terasa nyata
di dinasti politik, pewaris kekuasaan maupun anak cucu ideologis atau trah
darah politik.
Antar generasi bukannya tak ada benang merah. Ikatan
moral yang terjadi adalah ikatan semu. Ikatan emosi yang terjalin malah
menjadikan siapa saja sebagai lawan, musuh, seteru. Semua bisa bermain di semua
lini. Tak sadar siap jadi apa saja.
Merasa bebas. Semakin kepala tengadah, mendongak
semakin terasa ukuran sepatu mengecil. Semakin dada membusung, membuncit
semakin terasa lidah pipih dan meruncing. Kalau perut bagimana kawan.
Isi dan ukuran perut manusia menandakan jati diri,
eksistensi, harga diri. Begah, kembung, gendut menjurus ke tambun, dari aspek
pewayangan, masuk tipe raksasa. Minimal berwatak raksasa. Beda dengan
punakawan, busung kentut. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar