Halaman

Selasa, 23 Oktober 2018

Kongso adu jago, politisi sipil vs masyarakat sipil


Kongso adu jago, politisi sipil vs masyarakat sipil

Tersurat di Rancangan Awlal RPJMN 2015-2019: Penguatan kerja sama masyarakat politik, masyarakat sipil dan masyarakat ekonomi dalam mendorong proses demokratisasi. Lebih lanjut, dalam buku yang sama yaitu Buku II Agenda Pembangunan Bidang: Penyediaan dan pelembagaan forum konsultasi publik dan ruang partisipasi lainnya untuk masyarakat sipil oleh seluruh badan publik.

Sub Bab Kerangka Pendanaan malah menyebutkan: Pembangunan politik dalam negeri dengan isu strategis pemantapan proses positif kosolidasi demokrasi memerlukan dukungan optimal seluruh pihak dalam negara, swasta maupun masyarakat sipil. Hal ini dengan mengingat makin pentingnya kemitraan semua pihak dalam memajukan proses positif kondolidasi demokrasi, sebagaimana yang diamanatkan oleh peraturan perundangan.

Hal lain yang perlu digarisbawahi adalah Presiden perlu memiliki hubungan yang baik dan kolegial dengan kalangan media massa dan organisasi masyarakat sipil untuk mengkomunikasi kan secara teratur latar belakang kebijakan-kebijakan yang pro kepentingan publik. Pada saat ini peran lembaga presiden masih perlu diperkuat dengan mengingat presiden dipilih langsung oleh rakyat sesuai dengan amanat UUD 1945.

Pendidikan HAM, melalui strategi pendidikan HAM aparat penegak hukum serta sinkronisasi dan sinergi fungsi penelitian, pengkajian dan kerjasama HAM pemerintah, perguruan tinggi, masyarakat sipil dan swasta.

Meningkatnya kualitas tata pemerintahan daerah, baik dalam dimensi pemerintahan daerah, birokrasi, masyarakat sipil dan masyarakat ekonomi.

Konsep good governance di Indonesia menguat pada era reformasi ketika terdapat desakan untuk mengurangi peran pemerintah yang dianggap terlalu dominatif dan tidak efektif (bad government). Untuk mengatasi hal ini negara perlu membagi kekuasaan yang dimiliki dengan aktor lain yakni swasta (private sector) dan masyarakat sipil (civil society). Interaksi di antara ketiga aktor ini dalam mengelola kekuasaan dalam penyelenggaraan pembangunan disebut governance. Interaksi dimaksud mensyaratkan adanya ruang kesetaraan (equality) diantara aktor-aktor terkait sehingga prinsip-prinsip seperti transparansi, akuntabilitas, partisipasi, dan lain sebagainya dapat terwujud.

Permasalahan kehidupan demokrasi dewasa ini adalah masih rendahnya kinerja lembaga lembaga demokrasi, termasuk parpol, parlemen, penyelenggara pemilu, organisasi masyarakat sipil (OMS)dalam menyerap ekspektasi dan variasi aspirasi politik yang munculsangat deras dan dinamis sebagai ekspresi kebebasan sipil yang dibawa oleh demokrasi sejak reformasi 1998.

Peran OMS telah mengalami perubahan besar sejak satu dasawarsa terakhir ini, dengan makin meningkatnya keikutsertaan OMS di dalam proses penyusunan kebijakan publik dan pengawasan pelaksanaannya.

Ganti adegan, acara. Atraksi. Masuk ke ranah politisi sipil.

Mulai dari olahkata “dikotomi politisi sipil, bangkit berkali-kali vs basi berkali-kali”.

Rekam jejak perjalanan politik anak bangsa Bacharuddin Jusuf Habibie (BJ Habibie) bisa dikatakan di atas rata-rata kawanan parpolis Nusantara. Sejarah mencatat, sejak mulai dari pembantu presiden, wakil presiden dan presiden sudah dilakoni dengan cermat, gemilang sesuai kadar jiwa raganya.

BJ Habibie cuma ingin membuktikan bahwa bermanfaat buat bangsa dan negara tidak harus jadi kepala negara. Berjuang, berbakti untuk nusa bangsa dan tanah air, tidak harus melalui jalur partai politik. Ambisi politik yang tidak kesampaian, terwujud, tercapai, tergapai hanya akan menggadaikan masa depan generasi penerus. Bangsa ini akan rapuh dari dari dalam berkat konflik politik tak berkesudahan.

Lanjut ke olahkata “prajurit tua tak akan mati vs politisi sipil tak akan puas sampai mati”.

Di panggung, industri dan syahwat politik, masih bersliweran aroma irama politisi sipil yang tak mati-mati - walau bukan sebagai mayat hidup -  dan tak akan puas sampai mati.

Di pemilu legislatif 9 April 2014, muncul pemilih dengan stigma uneducated people. Kondisi ini berlanjut, muncul politisi akar rumput yang beratribut tim sukses. Pandangan politik, orasi atau obrolan politiknya melebihi sang calon. Kombinasi penonton dan pemain, berakhir dengan sikap yang membabi buta.

Politisi akar rumput merasa sebagai penyebab seseorang terpilih menjadi wakil rakyat tingkat kabupaten, kota, provinsi dan pusat. Karena demokrasi Indonesia menyuratkan bahwa kemenangan berdasarkan jumlah suara, bukan dari hakekat atau makna keterwakilan.

Namanya politik versi Nusantara, bersifat dinamis, fluktuatif dan lelang terbuka. Jelang pesta demokrasi segala tingkatan, terjadi hubungan diplomatik antara partai politik atau politisi dengan penyandang dana. Pihak tersebut kedua, bisa klas lokal, klas nasional, klas multinasional maupun investor politik internasional.

Karakter dasar sebagai negara yang masih, sedang, selalu, akan berkembang adalah: Pertama. Butuh dana yang tak terhitung untuk meraih kekuasaan.
Kedua. Butuh biaya yang tak teranggarkan untuk mempertahankan kekuasaan.
Ketiga. Butuh modal pembangunan negara yang ‘tak terduga’ selama menjalankan kekuasaan.

Bersambung tetapi dengan tema beda. Simpul ringan, bahwa politik itu seni. Hanya untuk sekarang dan esok yang lebih dekat. Soal nanti bagimana, sigap. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar