ketika penjahit keliling
utamakan dzuhur
Entah mengapa profesi penjahit keliling menjadi
otoritas kaum adam. Faktor genjot, kayuh, injak-injak pedal sepeda minimalis. Rem
dengan kaki kanan, ditekankan ke ban depan. Atau faktor lain.
Bukan itu kawan. Pekerjaan jahit-menjahit bukan
monopoli kaum hawa. Jiwa seni perlu dimiliki oleh modiste, bergeser ke lelaki. Pria
perancang busana tampak gemulai. Beda dengan penjahit keliling memang harus
sehat lahir batin. Ijazah tak diutamakan.
Ketrampilan tangan plus kaki yang prigel,
menjadikan penjahit keliling didominiasi pria. Bukan impian, masa depan tetapi
menjanjikan. Masalahnya, sepeda standar agaknya bukan miliknya. Ada bos sepeda
jahit yang menyediakan jasa sewa. Tak beda jauh dengan juragan becak, juragan
angkot.
Jam kerja tidak bebas. Ditentukan terang langit dan
sinar matahari. Berpanas-panas menjadi menu harian. Sepeda tidak dilengkapi
payung macam PSK (pedagang sayur keliling). Petugasnya harus ramah. Tarif kerja
bisa dinego yang biasa ibu rumga lakukan. Kalau yang butuh jasanya bapak-bapak,
setelah selesai baru tanya ongkos perkara.
Karena bukan jualan barang, makanan maka cara
menjajakannya saya belum tahu. Agaknya, sudah punya rute tertentu. Tidak mengacak,
ingat stamina dan cuaca. Faktor jarak menjadi pertimbangan. Semakin jauh
mengayuh, pulang sambil memeras keringat.
Siang itu, tepatnya jelang siang. Ada suara mesin
jahit dan obrolan di depan rumahku. Diselingi suara canda anak. Orang yang
liwat pun, ikut nimbrung. Langganan yang pesan nanti agar mampir. Biasanya,
begitu ada penjahit beraksi, langganan berdatangan. Mumpung ada petugas yang
sedang praktik kerja nyata.
Soal sampah, sisa potongan kain, benang, hal
lumrah. Tidak dikantongi.
Lantunan ayat suci dari masjid menghimbau pertanda
mau masuk waktu sholat dzuhur. Begitu azan selesai, abang penjahit meninggalkan
aktivitasnya. Sepeda ditinggal santai, tanpa was-was dan curiga. Menuju mushola terdekat. Tampak sebagai kewajaran tanpa rekayasa.
Tapi bukan hal yang sepélé. Apalagi ybs masuk kategori anak muda. Senyap sementara.
Saya menegakkan dzuhur di rumah.
Mungkin tak sampai satu jam kemudian, keramaian
terdengar kembali. Ditambah suara bapak-bapak yang nimbrung. Begitu saja kisah
ini dengan sarat pesan. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar