ketika loyalis penguasa
pilih tinggal glanggang colong playu
Kata bijak sejak jadoel: “siapa buang angin sembarangan akan terdampak masuk angin”. Apalagi pelakunya
manusia politik yang sedang kontrak politik sebagai wakil rakyat, kepala daerah
apalagi kepala negara. Akibat kegedhèn rumongso, pusaran angin dimaksud
bersifat statis. Tidak kemana-mana. Sibuk di tempat. Semakin berbusa, berbuih
tanda tak mampu.
Tahun politik 2019, banyak adegan, atraksi, acara
yang berulang. Virus politik yang ditenarkan oleh oknum petugas partai, menjadi
senjata maka tuan. Modus ini mendapat lawan imbang dengan munculnya dalil
politik dua kaki, politik dasamuka.
Tahun politik
menyajikan dalil atau asas “berbagi tanpa memberi”. Gravitasi atau daya tarik
bumi tidak berlaku di syahwat politik Nusantara. Biaya politik menjadi sumber
bencana politik. Diperparah oleh kepedulian investor politik mancanegara. Efek domino
NKRI sebagai negara ramah investor, bak mengundang tamu tak diundang.
Sekedar kilas balik, bahwasanya mental loyalis: durung ditakoni wis ngarani. Modal minimal tapi ingin hasil maksimal. Bisa
terjadi. Bahkan modal abab, bisa raih sukses di luar angan-angan. Blantik,
makelar, pialang politik atau sebutan lainnya, akhirnya menjadi berklas dalam
bentuk politik transaksional.
KBBI 2008 menjelaskan lema loyalis n pengikut atau
pendukung pemerintah yg setia; orang yg setia mengikuti dan mendukung
pemerintah.
Bahasa dan kamus politik, menterjemahkan lema ‘loyalis’ lebih dinamis dan
suka-suka. Dalam praktiknya, mereka tidak sekadar bak bonek. Bahkan siap pasang
badan, berjibaku membela sang juragan, majikan, bandar dan pialang politik.
Yang sebagai pengayom malah jadi pagar makan tanaman.
Ketika loyalis penguasa sadar dan berguman, “tiwas dandan”. Loyalis penguasa, ibarat ‘garong teriak maling’.
Rumusan “pejah gesang ndèrèk panguwasa” menjadi penyakit sejarah
yang sulit dihapus dari peta peradaban NKRI. Semboyan heroik adalah “berdiri
paling depan di belakang penguasa”. Siaga 24 jam untuk menerima warisan dan
sekaligus siap hindar diri, selamatkan diri masing-masing, utamakan keselamatan
dan keamanan diri dari segala kemungkinan yang merugikan.
Dari periode ke periode,
peradaban manusia politik berevolusi secara meyakinkan. Melaju mulai dari level
bergantung hidup dari alam (depend on nature), mengelola alam (manage
the nature), sampai pada tahap mengendalikan alam (controls the nature)
dan kembali menggantungkan nasib kepada kemurahan alam. Politik sebagai mata
pencaharian. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar