Halaman

Selasa, 16 Oktober 2018

ketika loyalis penguasa pilih tinggal glanggang colong playu


ketika loyalis penguasa pilih tinggal glanggang colong playu

Kata bijak sejak jadoel: “siapa buang angin sembarangan akan terdampak masuk angin”. Apalagi pelakunya manusia politik yang sedang kontrak politik sebagai wakil rakyat, kepala daerah apalagi kepala negara. Akibat kegedhèn rumongso, pusaran angin dimaksud bersifat statis. Tidak kemana-mana. Sibuk di tempat. Semakin berbusa, berbuih tanda tak mampu.

Tahun politik 2019, banyak adegan, atraksi, acara yang berulang. Virus politik yang ditenarkan oleh oknum petugas partai, menjadi senjata maka tuan. Modus ini mendapat lawan imbang dengan munculnya dalil politik dua kaki, politik dasamuka.

 Tahun politik menyajikan dalil atau asas “berbagi tanpa memberi”. Gravitasi atau daya tarik bumi tidak berlaku di syahwat politik Nusantara. Biaya politik menjadi sumber bencana politik. Diperparah oleh kepedulian investor politik mancanegara. Efek domino NKRI sebagai negara ramah investor, bak mengundang tamu tak diundang.

Sekedar kilas balik, bahwasanya mental loyalis: durung ditakoni wis ngarani. Modal minimal tapi ingin hasil maksimal. Bisa terjadi. Bahkan modal abab, bisa raih sukses di luar angan-angan. Blantik, makelar, pialang politik atau sebutan lainnya, akhirnya menjadi berklas dalam bentuk politik transaksional.

KBBI 2008 menjelaskan lema loyalis n pengikut atau pendukung pemerintah yg setia; orang yg setia mengikuti dan mendukung pemerintah.

Bahasa dan kamus politik, menterjemahkan lema ‘loyalis’ lebih dinamis dan suka-suka. Dalam praktiknya, mereka tidak sekadar bak bonek. Bahkan siap pasang badan, berjibaku membela sang juragan, majikan, bandar dan pialang politik. Yang sebagai pengayom malah jadi pagar makan tanaman.

Ketika loyalis penguasa sadar dan berguman, “tiwas dandan”. Loyalis penguasa, ibarat ‘garong teriak maling’.

Rumusanpejah gesang ndèrèk panguwasamenjadi penyakit sejarah yang sulit dihapus dari peta peradaban NKRI. Semboyan heroik adalah “berdiri paling depan di belakang penguasa”. Siaga 24 jam untuk menerima warisan dan sekaligus siap hindar diri, selamatkan diri masing-masing, utamakan keselamatan dan keamanan diri dari segala kemungkinan yang merugikan. 

Dari periode ke periode, peradaban manusia politik berevolusi secara meyakinkan. Melaju mulai dari level bergantung hidup dari alam (depend on nature), mengelola alam (manage the nature), sampai pada tahap mengendalikan alam (controls the nature) dan kembali menggantungkan nasib kepada kemurahan alam. Politik sebagai mata pencaharian. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar