Halaman

Senin, 15 Oktober 2018

tahun politik 2019, restorasi jabatan presiden


tahun politik 2019, restorasi jabatan presiden

Bencana politik Nusantara diawali ketika jabatan presiden RI ke-7 hanya dianggap sebagai petugas partai. Mengingat NKRI ini sebagai negara yang sedang, masih, selalu, akan berkembang maka ujaran penistaan diri tsb dianggap wajar. Apalagi sang penista masuk kategori penyandang tunalaras.

Bukan 100% salah si penista. Wong yang namanya presiden dimaksud, tahu diri. Mengapa dia bisa jadi presiden. Bagaimana dia memposisikan dirinya dihadapan parpol pengusungnya, tak layak diperdebatkan. Malah rugi sendiri. Seolah sudah tidak ada tindak yang lebih jelek lagi.

Namanya politik, tidak ada tindah haram laku halal. Demi tujuan mulia politik, semua cara, langkah, modus adalah halal. Tidak bisa dipidanakan. Tidak dapat diganggu gugat sampai 7 turunan, 7 tanjakan, 7 tikungan.

Efek domino terasa dengan munculnya generasi pribumi Nusantara. Sebutan generasi tak tergantung batasan umur, usia atau tanggal kelahiran. Untuk semua umur, lintas usia. Pokoknya manusia dan atau orang Indonesia yang hidup di periode 2014-2019. Karena sama-sama mengalami bencana politik, cuma beda kadar gempa.

Indikasi terukur generasi pribumi Nusantara hanya bisa dilacak saat mereka menggunakan akal, otak, logika, nalar, insting, naluri dan sejenisnya. Tampilan luar, kemasan paket memang jauh panggang dari api. Bukan sekedar perlente, macak, modis.

Wajahnya, mengalahkan karakter yang ada di anak wayang. Jelas begitu karena panutannya adalah ‘binatang politik; yang sedang kontrak politik. Ditambah dengan menu budaya luar yang bebas melénggang kangkung masuk pojok Nusantara.

Investasi politik mancanegara sejalan dengan anak cucu ideologis tak ada matinya, tak ada kapoknya. Semakin menambah intensitas bencana politik buatan manusia.

Jadi setelah 7 presiden, Indonesia harus bangkit total. Lupakan dosa politik masa lalu. Tatap masa depan yang tersisa. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar