tahun politik 2019,
restorasi jabatan presiden
Bencana politik Nusantara diawali ketika jabatan
presiden RI ke-7 hanya dianggap sebagai petugas partai. Mengingat NKRI ini sebagai
negara yang sedang, masih, selalu, akan berkembang maka ujaran penistaan diri
tsb dianggap wajar. Apalagi sang penista masuk kategori penyandang tunalaras.
Bukan 100% salah si penista. Wong yang namanya
presiden dimaksud, tahu diri. Mengapa dia bisa jadi presiden. Bagaimana dia
memposisikan dirinya dihadapan parpol pengusungnya, tak layak diperdebatkan. Malah
rugi sendiri. Seolah sudah tidak ada tindak yang lebih jelek lagi.
Namanya politik, tidak ada tindah haram laku halal.
Demi tujuan mulia politik, semua cara, langkah, modus adalah halal. Tidak bisa
dipidanakan. Tidak dapat diganggu gugat sampai 7 turunan, 7 tanjakan, 7
tikungan.
Efek domino terasa dengan munculnya generasi
pribumi Nusantara. Sebutan generasi tak tergantung batasan umur, usia atau
tanggal kelahiran. Untuk semua umur, lintas usia. Pokoknya manusia dan atau
orang Indonesia yang hidup di periode 2014-2019. Karena sama-sama mengalami
bencana politik, cuma beda kadar gempa.
Indikasi terukur generasi pribumi Nusantara hanya
bisa dilacak saat mereka menggunakan akal, otak, logika, nalar, insting, naluri
dan sejenisnya. Tampilan luar, kemasan paket memang jauh panggang dari api. Bukan
sekedar perlente, macak, modis.
Wajahnya, mengalahkan karakter yang ada di anak
wayang. Jelas begitu karena panutannya adalah ‘binatang politik; yang sedang
kontrak politik. Ditambah dengan menu budaya luar yang bebas melénggang kangkung
masuk pojok Nusantara.
Investasi politik mancanegara sejalan dengan anak
cucu ideologis tak ada matinya, tak ada kapoknya. Semakin menambah intensitas
bencana politik buatan manusia.
Jadi setelah 7 presiden, Indonesia harus bangkit
total. Lupakan dosa politik masa lalu. Tatap masa depan yang tersisa. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar