sigap méntal penguasa,
kedaulatan bangsa vs wibawa negara
Pasal bangsa dan negara, dipandang sebagai satu
kesatuan. Tidak diberlakukan hak istimewa. Asas seimbang pun harus dicermati
dengan bijak. Oleh sebab itu, kepala negara pilihan rakyat bukan orang kemarin
sore. Menyandang predikat pemimpin bangsa walau hanya satu periode atau lima
tahun, jelas perlu daya juang yang total.
Masalah bangsa dijawab dengan rumusan, semakin
banyak rakyat akan berbanding lurus dengan jumlah kursi wakil rakyat di DPR RI.
Ternyata asumsi ini meleset jauh. Faktor penentu jumlah kursi adalah banyaknya
partai politik yang ikut pemilu legislatif.
Beginilah jadinya, jika nasib bangsa dan negara
ditentukan oleh kalkulasi politik. Semakin lama penguasa berkuasa, maka rakyat
akan terkorbankan secara sistematis, masif, menerus dan tak berkesudahan.
Anak bangsa pribumi, dengan daya primitif maupun
aksi primadonanya, mencibir SBY yang dua periode berturut-turut, dianggap
jeblok. Namun kekerdilan jiwa akibat akrab dengan nikmat dunia, dengan gagah
menyodorkan Jokowi untuk maju ke periode kedua.
Asumsi historis menggamblangkan, bahwasanya bangsa
Nusantara hidupnya hidup ala kadarnya. Terbiasa kencangkan ikat pinggang. Tak
merasa terhina jika mengajak sesama buang sampah ke tempatnya.
Anak bangsa Nusantara sebagai makhluk reliji, sudah
tahu makna tangan kanan dan tangan kiri. Melihat ke dalam diri sendiri,
bercermin, mulailah dari diri sendiri menjadikan hidup menjadi sejuk. Soal
perut hanya diisi sehari sekali, tak melanggar HAM.
Komposisi jiwa raga yang dijaga stabilitasnya,
semakin menguatkan diri. Pada gilirannya menjadi modal utama mewujudkan rasa
persatuan, kesatuan dan kedaulatan. Ikatan kebangsaan tanpa dinodai warna
partai, semakin mengkukuhkan, mengkokohkan bentuk nyata negara kesatuan.
Nusantara menjadi ajang laga bebas, panggung tarung
bebas, arena tanding tanpa klas antara pihak yang punya uang dengan pihak yang
punya kuasa. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar