praktik demokrasi
Nusantara, separuh bebas vs bebas separuh
Demi pertimbangan moral Pancasila. Atas dasar
peradaban berkemajuan anak bangsa pribumi. Mengingat jasa besar penguasa,
pemimpin besar révolusi méntal yang melampaui panggilan tugas. Perguliran nasib bangsa dan negara, sesuai format waktu lima
tahunan. Pesta demokrasi skala nasional sampai skala provinsi dan hingga
kabupaten/kota. Karena menentukan nasib bangsa selama lima tahun ke depan, maka
aksinya menjadi mégaproyek.
Salah satu èfèk domino praktik politik penguasa
adalah pada daya nalar, olah akal, dan kadar logika loyalis, penggemar berat
sampai anasir penjilat sekaligus penghujat.
Akhirnya modus politik penguasa menimbulkan alérgi,
antipati, apriori, apatis bagi pihak tidak hanya koalisi parpol pendukung
pemerintah. Pemerintah acap mati langkah, salah langkah serta asal gebrak.
Gaduh politik 2019, jauh tahun sudah melanda.
Bahkan, usai janji/sumpah jabatan, langsung argo politik resmi berdetak. Soal
siapa akan menjadi apa, sudah bisa diprediksi. Jangan heran, jika waktu efektif
penguasa hanya pada paruh awal 2014-2019. Sisanya untuk terjun bebas.
Rakyat sulit melupakan fakta bahwa modus politik
sangat ditentukan oleh skenarionya. Tolok ukurnya sederhana, yaitu mampu
mengaduk-aduk emosi, mengudak-udak enerji penonton. Utamakan kemasan, tampilan
luar. Ujaran kebencian dioplos dengan ujaran kebohongan politik bisa menjadikan
loyang tampak berkilau bak emas.
Kendati rakyat berpengalaman memilih dan atau
menggunakan hak pilih di hari-H pesta demokrasi, tetap tak akan bisa menebak
bagaimana modus pilihannya. Apakah sesuai harapan berdasarkan janji kampanye.
Atau malah akhirnya rakyat usap dada dan tepuk jidat sendiri. Bingung tidak
ketulungan.
NKRI sebagai negara berdasarkan hukum, maka tak
heran gerakan, pergerakkan politik musiman, politik lima tahunan didukung oleh
pasal hukum. Tidak ada titik temu antara manusia politik yang butuh uang dengan
manusia ekonomi yang butuh ‘kepastian hukum’. Tidak saling membutuhkan.
Ketika koalisasi parpol pendukung pemerintah hanya
berlaku di pusat. Di tingkat provinsi, jelas tergantung nilai jual atau siapa
jawara dinasti politik yang eksis. Parahnya di tingkat kabupaten/kota, walau
kepala daerah sebagai jabatan politik karena dipilih langsung oleh rakyat. Tak otomatis
dedengkot parpol diminati pemilh atau diminta oleh rakyat untuk mencalonkan
diri.
Praktik demokrasi atau yang terjadi di lapangan
bahkan istana, yaitu kedaulatan adalah kekuasaan menjalankan negara dan berada
di tangan penguasa. Rakyat sudah melimpahkan hak kedaulatan ke tangan wakil
rakyat, kepala daerah, kepala negara meliwati pola pemilihan langsung.
Semakin membudaya faham, cara pandang yang semula
bahwa untuk bisa berbhakti kepada NKRI harus jadi penguasa. Berkembang menjadi
bahwa sebagai penguasa satu periode, belum terasa nyata. Akhirnya, demokrasi
hanya menjadi bahan ajar untuk anak didik. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar