Halaman

Senin, 22 Oktober 2018

praktik demokrasi Nusantara, separuh bebas vs bebas separuh


praktik demokrasi Nusantara, separuh bebas vs bebas separuh

Demi pertimbangan moral Pancasila. Atas dasar peradaban berkemajuan anak bangsa pribumi. Mengingat jasa besar penguasa, pemimpin besar révolusi méntal yang melampaui panggilan tugas. Perguliran nasib  bangsa dan negara, sesuai format waktu lima tahunan. Pesta demokrasi skala nasional sampai skala provinsi dan hingga kabupaten/kota. Karena menentukan nasib bangsa selama lima tahun ke depan, maka aksinya menjadi mégaproyek.

Salah satu èfèk domino praktik politik penguasa adalah pada daya nalar, olah akal, dan kadar logika loyalis, penggemar berat sampai anasir penjilat sekaligus penghujat.

Akhirnya modus politik penguasa menimbulkan alérgi, antipati, apriori, apatis bagi pihak tidak hanya koalisi parpol pendukung pemerintah. Pemerintah acap mati langkah, salah langkah serta asal gebrak.

Gaduh politik 2019, jauh tahun sudah melanda. Bahkan, usai janji/sumpah jabatan, langsung argo politik resmi berdetak. Soal siapa akan menjadi apa, sudah bisa diprediksi. Jangan heran, jika waktu efektif penguasa hanya pada paruh awal 2014-2019. Sisanya untuk terjun bebas.

Rakyat sulit melupakan fakta bahwa modus politik sangat ditentukan oleh skenarionya. Tolok ukurnya sederhana, yaitu mampu mengaduk-aduk emosi, mengudak-udak enerji penonton. Utamakan kemasan, tampilan luar. Ujaran kebencian dioplos dengan ujaran kebohongan politik bisa menjadikan loyang tampak berkilau bak emas.

Kendati rakyat berpengalaman memilih dan atau menggunakan hak pilih di hari-H pesta demokrasi, tetap tak akan bisa menebak bagaimana modus pilihannya. Apakah sesuai harapan berdasarkan janji kampanye. Atau malah akhirnya rakyat usap dada dan tepuk jidat sendiri. Bingung tidak ketulungan.

NKRI sebagai negara berdasarkan hukum, maka tak heran gerakan, pergerakkan politik musiman, politik lima tahunan didukung oleh pasal hukum. Tidak ada titik temu antara manusia politik yang butuh uang dengan manusia ekonomi yang butuh ‘kepastian hukum’. Tidak saling membutuhkan.

Ketika koalisasi parpol pendukung pemerintah hanya berlaku di pusat. Di tingkat provinsi, jelas tergantung nilai jual atau siapa jawara dinasti politik yang eksis. Parahnya di tingkat kabupaten/kota, walau kepala daerah sebagai jabatan politik karena dipilih langsung oleh rakyat. Tak otomatis dedengkot parpol diminati pemilh atau diminta oleh rakyat untuk mencalonkan diri.

Praktik demokrasi atau yang terjadi di lapangan bahkan istana, yaitu kedaulatan adalah kekuasaan menjalankan negara dan berada di tangan penguasa. Rakyat sudah melimpahkan hak kedaulatan ke tangan wakil rakyat, kepala daerah, kepala negara meliwati pola pemilihan langsung.

Semakin membudaya faham, cara pandang yang semula bahwa untuk bisa berbhakti kepada NKRI harus jadi penguasa. Berkembang menjadi bahwa sebagai penguasa satu periode, belum terasa nyata. Akhirnya, demokrasi hanya menjadi bahan ajar untuk anak didik. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar