sesama teroris - satu ajaran, beda generasi - saling mégatéga tetap eksis
Asas saling berbagi, utamakan memberi katimbang menerima. Ingat asas dum
separo-separo. Kompromi jalan tengah. Rumusan kebangsaan “cilaka tanggung
sendiri vs menang urut modal”. Kalah pamor dengan “tak perlu pakai
nomor urut, asal penurut”. Bukan cuplikan kisah pak Turut ataupun segmen
riwayat mbokdé Nunut. Terjadi pada
semua anak bangsa pribumi nusantara. Makan dari nasi yang padinya sudah kenal
pupuk buatan. Ditimpali obat anti hama berupa racun lingkungan.
Nusantara–ku, demi sebuah kursi serba dan anéka mégatéga. Namanya nusantara
kawan, semakin kian berpengalaman
menyelenggarakan sekaligus mengawasi pemilihan umum, malah semakin banyak
mencetak ‘salah administrasi’. Semakin UU diperbarui dengan seksama sesuai
selera penguasa pada periode ybs. Bisa terjadi sebagai titipan dari pihak yang
nyata kuasanya.
Gejolak di
masyarakat, acap dijadikan sensasi politik. Campur tangan pemerintah setempat
maupun hamba hukum, sebatas melokalkan
kasus. Atau langsung getok dari atas.
Bara kasus semakin difokuskan, dikendalikan atau diintimidasi, semakin membara.
Budaya asing peninggalan penjajah masih merasuki lubuk hati anak bangsa
pribumi, bumiputera, putra-putri terbaik aseli daerah. Dikenal dengan istilah
mo limo atau 5M. Agar tak menimbulkan multitafsir, penulis sengaja tak
mentafsirkannya. Kendati masuk kategori penyakit masyarakat. Berkat pertambahan
tindak laku aksi LGBT, secara yuridis berbasis HAM tak bisa diperkarakan.
Penyakit masyarakat naik strata menjadi watak bangsa yang bernegara
multipartai. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar