hina poyok stigma tergantung juru ujar
Padahal literasi
politik mengarahkan agar penguasa, partai politik serta rakyat menjadi lebih logis,
rasional, objektif dan aktif membudayakan budaya demokrasi. Justru,
kebebasan berpersatuan lewat jalur berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat perlu diarusperdanakan.
Tak pantas menyebutkan, walau untuk contoh, sebutan apa
saja yang menjadi produk resmi pendengung, pengigau. Ironis binti miris, mereka
yang terpelajar, tanpa risi ikut aktif sebagai mediator, sebagai katalisator.
Semakin tinggi rekam jejak akademisnya, menunjukkan spontanitas, agresivitas
yang ujung-ujungnya menjadi daya rusak diri.
Negara memajukan secara
bebas aktif kebahasaan nasional, kebahasaan negara Indonesia bersama laju peradaban
global dengan menjamin kebebasan
penduduk, rakyat, masyarakat, warga
negara pada saat mempraktékkan, mempopulerkan jati dirinya melalui
berbahasa dengan baik, benar, bagus, betul. Semangkin membuktikan literasi anarkis
dikuasai dan atau dipelihara oleh negara.
Pihakan yang merasa diri otot kawat, balung wesi, muka
tembok. Malah gemar memelintir fakta sejarah. Media anti-sosial, pewujud daya
rusak diri sejak dini kian memanjakan. Seolah merestui secara konstitusional. Modal sosial, jaringan dan jejaring
sosial yang berbasis kepekaan sosial, kalah galak. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar