perut bahadur cukup satu
piring
Isi dan ukuran perut manusia menandakan jati diri,
eksistensi, harga diri. Buncit, gendut menjurus ke tambun, dari aspek
pewayangan, masuk tipe raksasa. Minimal berwatak raksasa. Beda dengan punakawan,
busung kentut.
Di jalanan, ada saja tipe anak bangsa yang lingkar
perut jauh di atas lingkar pinggang. Tanda manusia makmur dan sejahtera. Pemakan,
penikmat kuliner tanpa pandang bahan baku, komposisi dan kandungan gizi. Ditilik
dari busananya, memang tidak masuk kategori masyarakat kurang beruntung.
Penyakit politik memporakperandakan perwatakan
manusia. Kisah nyata yang diutarakan ki dalang Sobopawon, satria di éra anéka
mégatéga masih tetap dengan fisik satria. Namun tingkah lakunya mampu
mengalahkan raksasa. Akhirnya wayang raksasa kalah pamor. Jarang dimainkan. Menjadi
pengganti gunungan.
Walhasil, setiap pentas dengan acara, adegan, atraksi
politik, berlatar belakang wayang raksasa segala ukuran, warna muka tetap
merah. Kurang meyakinkan penonton, pemirsa atau kurang yakin diri, percaya
diri. Maka wayang makhluk halus yang dikenal di kisah wayang Jawa, ditampilkan.
Penikmat wayang tak lupa akan fakta, betapa bentuk mulut
Togog dan postur perut Semar akibat tanding makan gunung. Kisah ini berlanjut
di periode 2014-2019. Lomba makan kursi.
Merasa nikmatnya kuasa kursi, tuah kursi, akhirnya raksasa kerdil,
buta (raksasa) mini menjadi rakus politik. Satu kursi atau kursi pertama,
nyangkut di gigi. Tak mau masuk perut. Mirip rekam jejak Togog Sorowidodo. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar