Halaman

Kamis, 30 Agustus 2018

perut bahadur cukup satu piring


perut bahadur cukup satu piring

Isi dan ukuran perut manusia menandakan jati diri, eksistensi, harga diri. Buncit, gendut menjurus ke tambun, dari aspek pewayangan, masuk tipe raksasa. Minimal berwatak raksasa. Beda dengan punakawan, busung kentut.

Di jalanan, ada saja tipe anak bangsa yang lingkar perut jauh di atas lingkar pinggang. Tanda manusia makmur dan sejahtera. Pemakan, penikmat kuliner tanpa pandang bahan baku, komposisi dan kandungan gizi. Ditilik dari busananya, memang tidak masuk kategori masyarakat kurang beruntung.

Penyakit politik memporakperandakan perwatakan manusia. Kisah nyata yang diutarakan ki dalang Sobopawon, satria di éra anéka mégatéga masih tetap dengan fisik satria. Namun tingkah lakunya mampu mengalahkan raksasa. Akhirnya wayang raksasa kalah pamor. Jarang dimainkan. Menjadi pengganti gunungan.

Walhasil, setiap pentas dengan acara, adegan, atraksi politik, berlatar belakang wayang raksasa segala ukuran, warna muka tetap merah. Kurang meyakinkan penonton, pemirsa atau kurang yakin diri, percaya diri. Maka wayang makhluk halus yang dikenal di kisah wayang Jawa, ditampilkan.

Penikmat wayang tak lupa akan fakta, betapa bentuk mulut Togog dan postur perut Semar akibat tanding makan gunung. Kisah ini berlanjut di periode 2014-2019. Lomba makan kursi.

Merasa nikmatnya kuasa kursi, tuah kursi, akhirnya raksasa kerdil, buta (raksasa) mini menjadi rakus politik. Satu kursi atau kursi pertama, nyangkut di gigi. Tak mau masuk perut. Mirip rekam jejak Togog Sorowidodo. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar