INDONESIA–ku 73 tahun,
merokok membunuhmu vs jangan tiru
Memakai bahasa politik bagi yang tak berhak. Lebih
nyaring jika dioplos dengan bahas ekonomi. Produk unggulan maupun hasil
sampingan, tak jauh beda. Mengarah atau menjurus ke rumusan: sukses tak perlu keringat sendiri.
Modal jalur yang sudah dirintis, dibuka oleh
kakek-nenek moyang. Soal pasal bangsa pelaut atau nelayan lokal, tak jadi soal.
Pertanyaan yang tak butuh jawaban: koq téga-téganya. Terlanjur sudah jadi
pakem manusia politik.
Masa lampau memang jadi pelajaran. Belajar dari
pengalaman dan pengamalan berperikehidupan yang benar, bagus, baik. Rambu-rambu
kehidupan semakin jelas, nyata, terukur. Mata hati, walau sarat dengan rekam
jejak, selalu mengalami kesulitan untuk membaca tanda-tanda zaman.
Perang batin selalu mengawali kehidupan harian.
Bukan melanjutkan agenda. Ingin membuat langkah baru, agar jejak kemarin tak
terlacak. Waktu bumi berjalan linier, berkelanjutan secara kontinyu, monoton,
tipikal. Gejolak ambisi diri menuntut asupan gizi. Tak sadar mengabaikan
perlunya asupan rohani.
Dinamika kehidupan berbangsa, bernegara,
bermasyarakat semakin berjenjang dalam kesenjangan. Jajaran manusia politik
yang notabene adalah kawanan penyelenggara negara, merasa di atas angin. Merasa
yang menentukan nasib dan jalan kehidupan rakyat.
Sistem perwakilan maupun keterpilihan, menjadi
bumerang, senjata makan tuan bagi negara multipartai. Politik durhaka, ora opo-opo.[HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar