manusia politik
Nusantara tersesat di tahun politik
Betapa cerdasnya bangsa Indonesia. Bukan karena
sudah banyak mengkonsumsi pahitnya asam kehidupan dan manisnya garam impor. Juga bukan
karena sejak dalam kandungan sudah terbiasa menonton, membaca silat China. Ada pasal
tak terduga yang menjadi biang perkara.
Dikisahkan oleh sejarah yang masih tersimpan rapih
dan belum tertulis.
Dasar negara, ideologi nasional Pancasila yang
dipraktikkan secara utuh, bulat sampai sesuai dengan kapasitas diri. Satu sila
dilaksanakan saja sudah bagus. Masih ada yang menawar. Dengan asas anéka
mégatéga, dimungkinkan ideologi asing tak perlu impor. Mereka datang sendiri,
menyusul pendahulunya.
Pejuang politik dari era Orde Lama sampai zaman
rindu order, yakin total sebagai sumber daya kehidupan. Pengorbanan seminimal
mungkin dengan hasil tak terduga. Anak cucu ideologis sampai penganut setia
ideologi tak ada kapoknya.
Produk unggulan zaman Orde Lama yang dikenal dengan
menu politik ‘nasakom’ mampu menyesuaikan diri. Struktur masyarakat ditengarai
adanya masyarakat kurang beruntung, rumah tangga miskin, keluarga
pra-sejahtera. Belum yakin dengan stigma tadi, dipertambah dengan ungkapan uneducated
people, permanent underclass.
Hasil nyata praktik kerja nyata Pancasila oleh
kawanan parpol pro-pemerintah, pro banget, melahirkan akhir paruh
periode sebagai tahun politik. Bencana politik berbanding lurus dengan bencana
alam.
Efek domino cerdas ideologi, muncul aroma irama
drama politik yang menterjemahkan kedaulatan – kekuasaan menyelenggarakan
negara – ada di tangan juara umum, pemenang pertama pesta demokrasi. Diperjelas,
pemenang otomatis berhak mendapat jatah utama, porsi terbesar, bagian terbanyak.
Semangkin banyak acuan, pedoman, kode etik, aturan
main untuk main politik, malah menjadikan petugas partai semakin membabi buta. Tak
urung, loyalis penguasa bak pemakan segala. Bak babi kesurupan. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar