kamus politik Nusantara, pecundang gampang meradang
Pengakuan
tak resmi manusia politik sebagai bukti perkembangan. Bukan karena terwakili
dari bahasa tubuh petugas partai. Bukan pula karena daya bélatuan loyalis yang
total jenderal.
Mulai
dari sono-nya. Ingat semboyan patriotisme, heroisme, nasionalisme
total: pejah
gesang ndèrèk Bung Karno. Menu
politik ‘nasakom’ BK, tetap bergulir sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan
zaman. Ideologi tak ada kapoknya. Pasang surut dinamika politik menambah kebal muka.
Menyatu
dengan alam. Mereka belajar dari ulat daun yang ahli gerogot. Kesenggol
sedikit, langsung mengeluarkan sungutnya. Bukan bak cacing tanah, badan remuk,
terberai keinjak masih mampu menggeliat pongah.
Manusia
politik, bersifat individu dan tak ada ikatan antar individu. Kode etiknya
adalah sebagai manusia bebas, tanpa batas dan tanpa rasa. Sampai bentuk sistem
atau kawanan dengan asas sama rasa sama rata.
Mengapa
orang dan atau manusia Indonesia memilih jalur politik. Terbayang dan format politik
reformasi adalah cara sederhana merebut, mempertahankan, merebut kembali
kekuasaan secara konstitusional.
Garangnya
pembantu presiden 2014-2019 menjadikan mantan angkatan atau angkatan yang masih
aktif, adu garang. Bukan bela negara. Bélatuan dengan segenap jiwa raga.
Di lapisan
masyarakat, semangat menghinakan diri, menistakan diri dengan aneka ujaran
berbasis bodoh diri. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar