Halaman

Kamis, 09 Agustus 2018

INDONESIA–ku 73 tahun, mandiri dalam kemerdékaan vs merdéka dalam kemandirian


INDONESIA–ku 73 tahun, mandiri dalam kemerdékaan vs merdéka dalam kemandirian

Ujaran presiden pertama RI, Proklamator, penguasa Orde Lama: “berdiri di atas kaki sendiri” utawa ‘berdikari’ tetap menyengat. Beberapa kali  ganti presiden, malah menjadi PR besar bangsa. Aneka kiat dan serba dalih, untuk mempraktikkan ‘berdikari’.

Dianggap sebagai batu sandungan, khususnya oleh anak cucu ideoligis BK. Terasa nyata di periode 2014-2019, ‘berdikari’ menjadi senjata makan tuan, bumerang. Ikhwal ketahanan pangan plus kemandirian pangan, mengalami gempuran, gerusan, gerogotan dari dalam.

Pembangunan infrastuktur sebagai roda utama penggerak ekonomi daerah kurang beruntung. Efek dominonya pada stabilitas impor. Pergerakan ULN masih aman terkendali sesuai amanat dan skenario manusia ekonomi.

Tuntutlah ilmu sampai negeri China, telah berbalik arak. Arus masuk barang, jasa, SDM bebas sampai pengguna di pelosok Nusantara. Hitungan jam. Lewat darat, laut, udara. Bhayangkara dengan rekam jejak dan loyalitas total jenderal, kawal ideologi asing.

Méntal revolusi, menyebabkan manusia politik semakin tergantung pada kebijakan oknum ketua umumnya. Pejah gesang ndèrèk panguwasa.

Sejak kita dilatih memanfaatkan daya guna kaki sampai mampu berjalan kaki, tidak serta merta menjadi ahli pejalan kaki. Kalau bisa pakai sarana, mengapa susah payah mengayunkan kaki sendiri. Skala bangsa, ‘berdikari’ diartikan bahwa sebuah bangsa tidak bisa hidup sendiri. Sinerji memenuhi kebutuhan dan tuntutan hidup.

Agar tampak ‘berdikari’ banget, pemerintah memelihara media sosial sebagai ajang tarung generasi pewaris masa depan. Propaganda, aksi pengganda hasil survei tanpa survei, identik rasa peduli, peka, tanggap. Garam dapur rakyat kualitas impor. 
  
Akhirnya, pengawal révolusi méntal berwatak pilih tanding. Siap melibas lawan politik dengan segala cara, segenap akal, semua daya. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar