INDONESIA–ku 73 tahun, mandiri
dalam kemerdékaan vs merdéka dalam kemandirian
Ujaran presiden pertama RI, Proklamator, penguasa
Orde Lama: “berdiri di atas kaki sendiri” utawa ‘berdikari’
tetap menyengat. Beberapa kali ganti
presiden, malah menjadi PR besar bangsa. Aneka kiat dan serba dalih, untuk
mempraktikkan ‘berdikari’.
Dianggap sebagai batu sandungan, khususnya oleh
anak cucu ideoligis BK. Terasa nyata di periode 2014-2019, ‘berdikari’ menjadi
senjata makan tuan, bumerang. Ikhwal ketahanan pangan plus kemandirian pangan,
mengalami gempuran, gerusan, gerogotan dari dalam.
Pembangunan infrastuktur sebagai roda utama
penggerak ekonomi daerah kurang beruntung. Efek dominonya pada stabilitas
impor. Pergerakan ULN masih aman terkendali sesuai amanat dan skenario manusia
ekonomi.
Tuntutlah ilmu sampai negeri China, telah berbalik
arak. Arus masuk barang, jasa, SDM bebas sampai pengguna di pelosok Nusantara.
Hitungan jam. Lewat darat, laut, udara. Bhayangkara dengan rekam jejak dan
loyalitas total jenderal, kawal ideologi asing.
Méntal revolusi, menyebabkan manusia politik
semakin tergantung pada kebijakan oknum ketua umumnya. Pejah gesang ndèrèk panguwasa.
Sejak kita dilatih memanfaatkan daya guna kaki
sampai mampu berjalan kaki, tidak serta merta menjadi ahli pejalan kaki. Kalau
bisa pakai sarana, mengapa susah payah mengayunkan kaki sendiri. Skala bangsa,
‘berdikari’ diartikan bahwa sebuah bangsa tidak bisa hidup sendiri. Sinerji
memenuhi kebutuhan dan tuntutan hidup.
Agar tampak ‘berdikari’ banget, pemerintah
memelihara media sosial sebagai ajang tarung generasi pewaris masa depan.
Propaganda, aksi pengganda hasil survei tanpa survei, identik rasa peduli,
peka, tanggap. Garam dapur rakyat kualitas impor.
Akhirnya, pengawal révolusi méntal berwatak pilih
tanding. Siap melibas lawan politik dengan segala cara, segenap akal, semua
daya. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar