mati sajabaning urip
Kalangan rakyat, dengan segala kesederhanaan,
keluguan tanpa nyana sudah praktik: “lebih mulia mati berkalang tanah, daripada
berputih mata”. Soal hidup kalang kabut bagi koalisi ‘berputih mata’, tidak
masuk pasal tabu, dalil aib.
Ketika presiden hanya dianggap sebagai petugas
partai, maka kalangan istana menjelma sebagai sumber segala sumber bencana
politik. Tamu tak diundang macam pengemplang pajak, disambut dengan gelaran
karpet merah.
Agar tampak pro-rakyat, pihak yang mengharumkan
nama bangsa diundang dijamu oleh tuan rumah. Barang siapa mampu menginjakkan
kakinya di lantai istana, termasuk masuk bilangan.
Kehidupan di luar istana. Bukan mayoritas kehidupan
bangsa. Indonesia sudah masuk peringkat sejahtera. Di jalanan sudah jarang
terlihat ‘petugas kebersihan’ yang memungut puntung rokok. Anggaran belanja rumah
tangga miskin mampu mendudukan konsumsi rokok di peringkat atas, utama, pokok.
Rokok yang baik, benar, bagus adalah semakin
dihisap, semakin pendek. Tak ayal, makanya penyelenggara negara wajib
memanfaatkan waktu hisapnya yang satu periode. Perkuat daya hisap, daya sedot,
daya serap dan jangan menjadi pemain tunggal. Perkuat barisan. Perkuat cantolan,
pijakan, pegangan.
Kehidupan manusia politik selama kontrak politik,
sebagai faktor penentu ke arah dimensi kehidupan berikutnya. Masalah jatah
periode bisa diakali. Hukum atau bahkan UU model Indonesia bisa dinamis. Bisa dibikin
luwes sesuai pesanan.
Patut diduga, banyaknya negarawan (berlaku di
internal partai politiknya) semakin membuktikan anak cucu ideologis tak ada rasa
jera, tak kenal istilah kapok. Sistem feodal di kerajaan politik mengarah pada
dogma kekuasaan dapat diwariskan.
Bola liar politik Nusantara di akhir periode
2014-2019 semakin liar. Momentum kecilnya utang luar negeri menjadi kilah untuk
maju lagi. Merasa masih punya tumpukan utang budi ke pihak pemodal yang tak
kunjung lunas. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar