Halaman

Kamis, 23 Agustus 2018

mati sajabaning urip


mati sajabaning urip

Kalangan rakyat, dengan segala kesederhanaan, keluguan tanpa nyana sudah praktik: “lebih mulia mati berkalang tanah, daripada berputih mata”. Soal hidup kalang kabut bagi koalisi ‘berputih mata’, tidak masuk pasal tabu, dalil aib.

Ketika presiden hanya dianggap sebagai petugas partai, maka kalangan istana menjelma sebagai sumber segala sumber bencana politik. Tamu tak diundang macam pengemplang pajak, disambut dengan gelaran karpet merah.

Agar tampak pro-rakyat, pihak yang mengharumkan nama bangsa diundang dijamu oleh tuan rumah. Barang siapa mampu menginjakkan kakinya di lantai istana, termasuk masuk bilangan.

Kehidupan di luar istana. Bukan mayoritas kehidupan bangsa. Indonesia sudah masuk peringkat sejahtera. Di jalanan sudah jarang terlihat ‘petugas kebersihan’ yang memungut puntung rokok. Anggaran belanja rumah tangga miskin mampu mendudukan konsumsi rokok di peringkat atas, utama, pokok.

Rokok yang baik, benar, bagus adalah semakin dihisap, semakin pendek. Tak ayal, makanya penyelenggara negara wajib memanfaatkan waktu hisapnya yang satu periode. Perkuat daya hisap, daya sedot, daya serap dan jangan menjadi pemain tunggal. Perkuat barisan. Perkuat cantolan, pijakan, pegangan.

Kehidupan manusia politik selama kontrak politik, sebagai faktor penentu ke arah dimensi kehidupan berikutnya. Masalah jatah periode bisa diakali. Hukum atau bahkan UU model Indonesia bisa dinamis. Bisa dibikin luwes sesuai pesanan.

Patut diduga, banyaknya negarawan (berlaku di internal partai politiknya) semakin membuktikan anak cucu ideologis tak ada rasa jera, tak kenal istilah kapok. Sistem feodal di kerajaan politik mengarah pada dogma kekuasaan dapat diwariskan.

Bola liar politik Nusantara di akhir periode 2014-2019 semakin liar. Momentum kecilnya utang luar negeri menjadi kilah untuk maju lagi. Merasa masih punya tumpukan utang budi ke pihak pemodal yang tak kunjung lunas. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar