Biasa Menulis Belum
Tentu Bisa Menulis
Budaya menulis nyatanya menjadi batu sandungan bagi
dosen. Sekali mengajar tetap mengajar. Tak peduli pasal dan urusan tètèk-bengèk. Akhirnya ambil sikap masa bodoh disalip yuniornya. Bahkan oleh mantan mahasiswanya.
Ironis binti miris, keahlian mengajar tidak diiringi, dilengkapi dengan
melengkapi Tridharma.
Guru yang baik dan benar, yang seumur-umur tetap
menjadi guru. Soal sertifikat serta kaitannya dengan UU ASN, é,gé.pé. Murid tak selamanya menjadi murid. Naik klas dan atau naik status. Pada
nasibnya membuat kebijakan yang mengatur pendidikan.
Berbahasa Indonesia yang bijak, santun dan
menyejukkan. Menjadi orang dan atau manusia ahli berucap, bertutur kata,
bercuap sampai ahli propanda, orator, tukang jual obat, promotor.
Sisi lain menyuratkan dan menyiratkan, tak ada
korelasi emosional antara ahli cuap, lihai ucap, mahir ujaran lisan dengan
budaya menulis. Orang dengan enteng berisi umbar ujaran apa yang tidak
dilakukannya. Tak perlu proses rasa kebatinan dan campur tangan rasa kejiwaan.
Pihak lain, ungkapan ‘memang lidah tak bertulang’ menjadi motivasi untuk melihat kutu di seberang
lautan. Aneka ujaran pada propaganda dan pengganda berita, bukan sekedar produk
dimaksud. Ahlinya secara konstitusional ada di tangan yang paling berwenang.
Pemerintah dengan ikhlas menyediakan media sosial. Setiap
pemerintahan berusaha menjaga stabilitas negara. Modus yang dipakai dengan
menciptakan suasana yang tidak stabil.
Berkat Perubahan Kedua UUD NRI 1945 muncul pasal 28E yang terdiri atas 3
ayat. Kita simak ayat ke 3:
(3) Setiap orang berhak atas kebebasan
berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Konon, sejarah membuktikan, untuk bisa menulis,
harus diawali dengan mengenali diri sendiri. Memahami dan berkompromi secara
aktif dengan diri sendiri. Dimana tumbuh rambut, dengan nama berbeda, di
situlah pusat dan sumber daya bahasa. Mengeluarkan pendapat tertulis bisa
memancing pendapatan riil. Mengeluarkan pendapat tanpa olah otak, hanya memancing
kerusuhan. Bukti di syahwat politik. Oleh oknu setingkat gubernur ibukota
sebuah negara berkembang.
Tak ada waktu untuk menyesal, mengapa dan mulai
kapan menulis. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar