ketika politik menjadi
panglima sekaligus agama bumi
Nasib, daya juang dan
perjalanan hidup Pancasila dasar negara, tak seindah aselinya. Gegap gempita
anak bangsa pribumi, semangat prima maupun naluri primitif, masih menempatkan
politik di segala urusan dunia.
Dampak negara masih, sedang,
selalu, akan berkembang menyuburkan siapa teriak lantang, dianggap sebagai
pengobar semangat. Menguasai media massa, otomatis akan menguasai jalur pendek,
sumbu pendek, jarum pendek budaya pikir. Budaya instan, karbitan, orbitan masuk
ke daya pikir, olah akal, reka nalar. Ingat “bonus idélogi non-Pancasila, tak
pakai lama vs tidak perlu mikir”.
Tak masalah jika
putra-putri terbaik memandang oknum ketua umum, bak tokoh spiritual. Tokoh kejiawaan.
Apalagi yang sedang menikmati buah kebijakannya. Lagi-lagi, menyangkut pasal
nikmat dunia. Namanya politik bung!
Kendaraan politik mampu
mengantar sang juragan kemana saja. Sampai akhir perjalanan di luar skenario. Belum
sampai waktu jatuh tempo bisa terpeleset. Tak perlu repot pelihara kambing. Kalau
mau santap sate kambing, mencicipi kambing guling, datangi warung kunyah
terdekat.
Tak perlu pakai jasa lembaga survei berbayar.
Efek domino revolusi mental mampu memperpanjang menu politik Orde Lama bertajuk
‘nasakom’ bebas blusukan. Disesuaikan dengan tuntutan dan tantangan zaman. Pokoké menang, carané piyé mbokdé paklik, sak énak wudhelmu dhéwé. Politik menjadi pandangan hidup
sampai perjuangan (susah) hidup karena faktor internal. Rebut dan raih kursi
kekuasaan, dengan aneka modus, reka rekayasa, aksi manipulasi secara
konstitusional. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar