Halaman

Kamis, 23 Agustus 2018

ketika politik menjadi panglima sekaligus agama bumi


ketika politik menjadi panglima sekaligus agama bumi

Nasib, daya juang dan perjalanan hidup Pancasila dasar negara, tak seindah aselinya. Gegap gempita anak bangsa pribumi, semangat prima maupun naluri primitif, masih menempatkan politik di segala urusan dunia.

Dampak negara masih, sedang, selalu, akan berkembang menyuburkan siapa teriak lantang, dianggap sebagai pengobar semangat. Menguasai media massa, otomatis akan menguasai jalur pendek, sumbu pendek, jarum pendek budaya pikir. Budaya instan, karbitan, orbitan masuk ke daya pikir, olah akal, reka nalar. Ingat “bonus idélogi non-Pancasila, tak pakai lama vs tidak perlu mikir”.

Tak masalah jika putra-putri terbaik memandang oknum ketua umum, bak tokoh spiritual. Tokoh kejiawaan. Apalagi yang sedang menikmati buah kebijakannya. Lagi-lagi, menyangkut pasal nikmat dunia. Namanya politik bung!

Kendaraan politik mampu mengantar sang juragan kemana saja. Sampai akhir perjalanan di luar skenario. Belum sampai waktu jatuh tempo bisa terpeleset. Tak perlu repot pelihara kambing. Kalau mau santap sate kambing, mencicipi kambing guling, datangi warung kunyah terdekat.

Tak perlu pakai jasa lembaga survei berbayar. Efek domino revolusi mental mampu memperpanjang menu politik Orde Lama bertajuk ‘nasakom’ bebas blusukan. Disesuaikan dengan tuntutan dan tantangan zaman. Pokoké menang, carané piyé mbokdé paklik, sak énak wudhelmu dhéwé.  Politik menjadi pandangan hidup sampai perjuangan (susah) hidup karena faktor internal. Rebut dan raih kursi kekuasaan, dengan aneka modus, reka rekayasa, aksi manipulasi secara konstitusional. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar