diléma tegakkan negara,
ikatan sentimèn politik vs ikatan moral bangsa
Memang tak ada kaitan, interaksi fungsional antara
politik, partai politik dengan sebuah bentuk ideologi. Terlebih apalagi kesatuan
aktif dengan Pancasila. Parpol yang
tumbuh di NKRI, masih sebatas kawanan, kumpulan manusia politik yang kejar
berhala reformasi 3K (kuasa, kuat, kaya).
Manusia politik – selain ada sebutan manusia
ekonomi, manusia sosial – dengan jam terbang, rekam jejak, pengalaman hidup,
raihan duniawi malah membuat semakin jauh dari kategori negarawan.
Negarawan tidak serta merta diraih dengan begitu
saja, karena ybs pernah jadi kepala negara. Minimal telah membuktikan
pengabdian tanpa cacat kepada negara melalu jalur politik dan atau partai.
Bukan salah sejarah kalau akhirnya menu politik
NKRI, terbukti ringan di sistem multipartai. Miniatur dasar ideologi yang ada
di muka bumi. Nyaris ada yang menjadi ajaran dan model atasi susah hidup.
Piramida struktur kekuasaan, semakin runcing. Semakin
runcing, akhirnya struktur puncak menjadi rentan, riskan, rawan. Namanya politik,
yang haram asal konstitusional, tidak bisa dipidanakan. Yang tak masuk akal,
namun sesuai kamus politik, menjadi lagu wajib. Semua kejadian ini berlangsung
di periode 2014-2019.
Klimaks, puncak brutalisme, prémanisme, radikalisme
kawanan parpol pro-penguasa, dengan segala multièfèk dominonya. Selain modus memposisikan
presiden hanya sebatas petugas partai. Tahun politik, menjadikan presiden yang
sedang, masih praktik, tak punya kuasa untuk menunjuk cawapres 2019.
Bersyukur, anak bangsa pribumi yang pada umumnya di
posisi dasar piramida struktur kekuasaan, tetap menjaga persatuan dan kesatuan.
Tahan goncang dan gonjang-ganjing. Tahan tekanan, intimidasi dari pihak
manapun. Terbiasa kencangkan ikat pinggang. Kebal terhadap fitnah penguasa. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar