bonus idélogi
non-Pancasila, tak pakai lama vs tidak perlu mikir
Praktik demokrasi Nusantara menghadirkan aneka
aksi. Antara yang aneh dan lucu menjadi terpadu padan, seimbang. Antara yang
menggelikan dan menjengkelkan sulit dibedakan. Antara yang rekayasa,
manipulasi, modus dengan spontanitas, alami, wajar nyaris satu panggung.
Tergantung persepsi mata telinga penggugah atau yang merasa tergugah.
Rasa muak, mual, mulas diaduk menjadi satu kesatuan
dengan rasa haru, iba melihat tindak tanduk, tingkah polah manusia politik yang
sedang berkuasa.
Propaganda kinerja penguasa di layar kaca, menjadi
hiburan getir. Tawa pemirsa yang mentertawakan diri sendiri. Merasa tertipu
hidup-hidup. Adegan, acara, atraksi tetap bergulir tak kenal watak, karakter
dan peradaban. Peringkat sebagai tujuan utama dan pertama.
Di wadah lain, melalui media sosial. Kawanan
loyalis penguasa tak kurang obral kata bak kentut tanpa celana. Klimaks, puncak
tindak brutalisme, aksi prémanisme, gerak radikalisme kawanan parpol
pro-penguasa, dengan segala multièfèk dominonya, semakin membuka tabir dan aib
diri.
Kadar loyalis, bak udang terbungkuk-bungkuk
meringkuk di balik batu. Burung pungguk merindukan bulan. Sampai injure time, masih berharap ada sisa berhala.
Aroma irama politik Nusantara semakin
mengharu-biru. Mana ujung mana pangkal. Mana yang gemar disanjung mana yang
hobi main akal. Mana yang doyan adu tarung dengan mana gemar main sangkal.
Merahnya merah-putih semakin merah. Berani melibas
siapa saja. Maksudnya, siap menerima order jasa tukang libas. Kalau tak mau
diajak rembuk, pakai cara main gebuk habis-habisan, habis perkara. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar