INDONESIA–ku 73 tahun,
derita rakyat vs kuasa pejabat
Laporan dari menteri kabinet yang membidangi derita
rakyat, memakai bahasa politis. Bukan sekedar pola ABS. Sekaligus memancing
rasa hiba dari pemain lama si badan/negara donor. Multièfèk, mégaèfèk menjual
kemiskinan yang mana dimana angka kemiskinan hanya berkisar 1 (siji) digit.
Semakin pemodal asing gigit jari.
Laporan mengalami proses pemolesan agar tampak
cemerlang, gilap berkilau. Tampak pro-rakyat total kopral. Bahasa akuntabel
mengalami atau harus disesuaikan dengan selera politik. Jujur jangan sampai
malah bikin hancur.
Asumsi asal-asalan, kalau mau lihat peta militer
sebuah negara, bisa dilacak dari peta olahraganya. Peta NKRI menjelaskan dengan
daerah minat olahraga tertinggi vs daerah minat olahraga terendah. Kalau
sekedar iseng mau tahu tingkat kesejahteraan rakyat, kecerdasan bangsa, wibawa
negara, bisa dilihat jumlah partai politiknya. Semakin banyak dapil, berarti
terjadi persaingan pergerakan biaya politik.
Kembali ke pakem. Masih dalam suasana kebatinan ki
dalang Blokosuto, sebut saja pasal si gèdhèg lan si anthuk = wong loro kang wis
padha kangsèn tumindak ala bebarengan. Peribahasa ini mengingatkan kita akan
skenario di pilpres 2019 yang merupakan kelanjutan dari kisah sukses pilkada
DKI Jakarta 2012.
Wibawa negara merosot ketika negara tidak kuasa
memberikan rasa aman kepada segenap warga negara, tidak mampu mendeteksi
ancaman terhadap kedaulatan wilayah, membiarkan pelanggaran hak asasi manusia
(HAM), lemah dalam penegakan hukum, dan tidak berdaya dalam mengelola konflik
sosial. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar