Halaman

Kamis, 09 Agustus 2018

INDONESIA–ku 73 tahun, derita rakyat vs kuasa pejabat


INDONESIA–ku 73 tahun, derita rakyat vs kuasa pejabat

Laporan dari menteri kabinet yang membidangi derita rakyat, memakai bahasa politis. Bukan sekedar pola ABS. Sekaligus memancing rasa hiba dari pemain lama si badan/negara donor. Multièfèk, mégaèfèk menjual kemiskinan yang mana dimana angka kemiskinan hanya berkisar 1 (siji) digit. Semakin pemodal asing gigit jari.

Laporan mengalami proses pemolesan agar tampak cemerlang, gilap berkilau. Tampak pro-rakyat total kopral. Bahasa akuntabel mengalami atau harus disesuaikan dengan selera politik. Jujur jangan sampai malah bikin hancur.

Asumsi asal-asalan, kalau mau lihat peta militer sebuah negara, bisa dilacak dari peta olahraganya. Peta NKRI menjelaskan dengan daerah minat olahraga tertinggi vs daerah minat olahraga terendah. Kalau sekedar iseng mau tahu tingkat kesejahteraan rakyat, kecerdasan bangsa, wibawa negara, bisa dilihat jumlah partai politiknya. Semakin banyak dapil, berarti terjadi persaingan pergerakan biaya politik.

Kembali ke pakem. Masih dalam suasana kebatinan ki dalang Blokosuto, sebut saja pasal si gèdhèg lan si anthuk = wong loro kang wis padha kangsèn tumindak ala bebarengan. Peribahasa ini mengingatkan kita akan skenario di pilpres 2019 yang merupakan kelanjutan dari kisah sukses pilkada DKI Jakarta 2012.  

Wibawa negara merosot ketika negara tidak kuasa memberikan rasa aman kepada segenap warga negara, tidak mampu mendeteksi ancaman terhadap kedaulatan wilayah, membiarkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), lemah dalam penegakan hukum, dan tidak berdaya dalam mengelola konflik sosial. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar