INDONESIA–ku 73 tahun, pesolèk vs wayang golèk
Mungkin, secara defacto maupun dejure,
anak judul di atas ada hubungan diplomatik. Unsur watak menjadi dasar interaksi
tampilan dan konfigurasi fisik. Pasal wangun ora wangun, sing
penting gaya. Semakin norak, semakin berlagak, semakin galak.
Asal penguasaan panggung enak di telinga, soal
jingkrak-jingkrak tidak karuan, bisa diabaikan. Gaya rambut maupun potongan
busana yang tak cocok dengan tema kemerdekaan, karena sing duwé gawé, maklum saja. Apalagi yang punya negara.
Jangan tiru acara, adegan, atraksi yang ditampilkan
anak panggung. Resiko ditanggung peniru. Mereka sudah mahir sejak dalam
kandungan. Minimal sudah digadang sejak dari sono-nya. Darah anak panggung mewaris, mengalir ke anak cucu.
Selain tak sesuai tema, sesuai sinyalemen alenia
kedua, muncul babakan baru yang membuat kita ketawa, tertawa getir. Mentertawakan
diri sendiri. Terbesit di hati kecil, koq téga-téganya memperolok-olok diri
sendiri. Merasa cerdas sampai merasa layak jadi pemimpin. Mégaèfèk dari zaman éra
méganya-méganya. Zaman rajatéga. Ada yang bilang mbahétéga.
Akhirnya, walau sudah téga luar dalam, tetap tidak
kebagian. Ampas pun tidak. Kerak, intip pun jadi rebutan.
Bersyukur. Rakyat tetap berjuang serta berpeluang
meningkatkan hakikat, harkat, martabat,
pangkat, derajat, semat dan jati diri sebagai rakyat yang tahan banting. Eksis
di setiap periode dengan merawat, meruwat harga diri sebagai rakyat. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar