Halaman

Rabu, 01 Agustus 2018

INDONESIA–ku 73 tahun, pesolèk vs wayang golèk


INDONESIA–ku 73 tahun, pesolèk vs wayang golèk

Mungkin, secara defacto maupun dejure, anak judul di atas ada hubungan diplomatik. Unsur watak menjadi dasar interaksi tampilan dan konfigurasi fisik. Pasal wangun ora wangun, sing penting gaya. Semakin norak, semakin berlagak, semakin galak.

Asal penguasaan panggung enak di telinga, soal jingkrak-jingkrak tidak karuan, bisa diabaikan. Gaya rambut maupun potongan busana yang tak cocok dengan tema kemerdekaan, karena sing duwé gawé, maklum saja. Apalagi yang punya negara.

Jangan tiru acara, adegan, atraksi yang ditampilkan anak panggung. Resiko ditanggung peniru. Mereka sudah mahir sejak dalam kandungan. Minimal sudah digadang sejak dari sono-nya. Darah anak panggung mewaris, mengalir ke anak cucu.

Selain tak sesuai tema, sesuai sinyalemen alenia kedua, muncul babakan baru yang membuat kita ketawa, tertawa getir. Mentertawakan diri sendiri. Terbesit di hati kecil, koq téga-téganya memperolok-olok diri sendiri. Merasa cerdas sampai merasa layak jadi pemimpin. Mégaèfèk dari zaman éra méganya-méganya. Zaman rajatéga. Ada yang bilang mbahétéga.

Akhirnya, walau sudah téga luar dalam, tetap tidak kebagian. Ampas pun tidak. Kerak, intip pun jadi rebutan.

Bersyukur. Rakyat tetap berjuang serta berpeluang meningkatkan hakikat, harkat,  martabat, pangkat, derajat, semat dan jati diri sebagai rakyat yang tahan banting. Eksis di setiap periode dengan merawat, meruwat harga diri sebagai rakyat. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar