Mewujudkan Ruang Terbuka
Hijau di Pekarangan Rumah Tinggal
Ironis binti miris, jika anak bangsa pribumi di
pangkuan Ibu Pertiwi, niat dan minat menikmati alam nan hijau, harus keluar
rumah. Keluar kota. Menuju pedesaan. Melihat padang rumput, hamparan sawah dan
barisan pohon serta menyimak kicau burung.
Lingkungan hidup sekitar tempat tinggal, mengalami
penyederhanaan makna. Terminimalisasi dan atau termajinalkan secara formal. Dalil
harga lahan mendekati pusat pemerintahan, semakin tak terjangkau kantong
rakyat. Menjadikan kapling rumah tinggal dengan ukuran minim tapi kaya manfaat.
Akhirnya, berdasarkan daya beli, daya belanja
penduduk yang masih menghuni rumah tidak layak huni (RTLH atau rutilahu), harus
peras otak dan putar keringat. Kondisi lingkungan RTLH mempunyai prospek
sebagai ajang praktik ruang terbuka hijau.
Ruang Terbuka Hijau
Mengacu pada UU 26/2007 tentang Penataan Ruang,
khususnya pada :
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
31.
Ruang terbuka hijau adalah area
memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat
terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang
sengaja ditanam.
Ruang terbuka hijau terdiri dari ruang terbuka
hijau publik dan ruang terbuka hijau privat.
Ruang terbuka hijau publik merupakan ruang terbuka hijau
yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah kota yang digunakan untuk
kepentingan masyarakat secara umum. Yang termasuk ruang terbuka hijau publik, antara
lain, adalah taman kota, taman pemakaman umum, dan jalur hijau sepanjang jalan,
sungai, dan pantai. Yang termasuk ruang terbuka hijau privat, antara lain,
adalah kebun atau halaman rumah/gedung milik masyarakat/swasta yang ditanami
tumbuhan.
Jadi tulisan ini lebih memakai makna ruang terbuka
hijau privat.
Ruang Luar Rumah Tinggal
Mengacu pada UU 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman, khususnya pada :
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang
dimaksud dengan:
38.
Rumah adalah bangunan gedung yang
berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana pembinaan keluarga,
cerminan harkat dan martabat penghuninya, serta aset bagi pemiliknya.
Jadi, rumah tinggal (tak ada kiatannya dengan RTLH atau rutilahu) sebagai
bangunan gedung, mau tak mau, dalam ikhwal pengembangan mandiri pasca
pengembangan rumah swadaya, atau kemandirian pasca konstruksi mengacu pada UU
28/2002 tentang Bangunan Gedung.
Dimulai dengan menyimak UU 28/2002 khususnya pada :
Paragraf 3
Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung
Pasal 14
(4)
Persyaratan keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan bangunan gedung dengan lingkungannya sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) harus mempertimbangkan terciptanya ruang luar bangunan
gedung, ruang terbuka hijau yang seimbang, serasi, dan selaras dengan
lingkungannya.
Penjelasan Ayat (4) :
Ruang luar bangunan gedung diwujudkan untuk
sekaligus mendukung pemenuhan persyaratan keselamatan, kesehatan, kenyamanan,
dan kemudahan bangunan gedung, disamping untuk mewadahi kegiatan pendukung
fungsi bangunan gedung dan daerah hijau di sekitar bangunan.
Ruang terbuka hijau diwujudkan dengan memperhatikan
potensi unsur-unsur alami yang ada dalam tapak seperti danau, sungai,
pohon-pohon menahun, tanah serta permukaan tanah, dan dapat berfungsi untuk kepentingan
ekologis, sosial, ekonomi serta estetika.
Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan
Kearifan lokal maupun kecerdasan lokal kakek-nenek moyang
kita saat memanfaatkan kaveling tanah, lahan pekarangan, kebun, halaman, ruang
terbuka atau sebutan lainnya, perlu dijadikan produk hukum.
Pekarangan tidak hanya sekedar lansekap arsitektur yang bercitra
rasa seni budaya. Manfaat eksistensinya
bila diolah dan dikelola dengan tepat manfaat, akan memiliki bermacam manfaat. Upaya
nyata dengan teknologi penataan dan pemanfaatan pekarangan dalam memenuhi
kebutuhan pangan dan gizi keluarga.
Pekarangan dimanfaatkan dan dikelola melalui pendekatan
terpadu dengan berbagai jenis tanaman, ternak dan ikan, untuk menjamin ketersediaan
bahan pangan yang beranekaragam secara terus menerus, guna pemenuhan gizi
keluarga.
Kementerian Pertanian menginisiasi optimalisasi
pemanfaatan pekarangan melalui konsep Rumah Pangan Lestari (RPL). RPL adalah
rumah penduduk yang mengusahakan pekarangan secara intensif untuk dimanfaatkan
dengan berbagai sumberdaya lokal secara bijaksana yang menjamin kesinambungan
penyediaan bahan pangan rumah tangga yang berkualitas dan beragam.
Apabila RPL dikembangkan dalam skala luas, berbasis dusun
(kampung), desa, atau wilayah lain yang memungkinkan, penerapan prinsip Rumah
Pangan Lestari (RPL) disebut Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL). Selain itu,
KRPL juga mencakup upaya intensifikasi pemanfaatan pagar hidup, jalan desa, dan
fasilitas umum lainnya (sekolah, rumah ibadah, dan lainnya), lahan terbuka
hijau, serta mengembangkan pengolahan dan pemasaran hasil.
Prinsip dasar KRPL adalah: (i) pemanfaatan pekarangan
yang ramah lingkungan dan dirancang untuk ketahanan dan kemandirian pangan,
(ii) diversifikasi pangan berbasis sumber daya lokal, (iii) konservasi
sumberdaya genetik pangan (tanaman, ternak, ikan), dan (iv) menjaga
kelestariannya melalui kebun bibit desa menuju (v) peningkatan pendapatan dan
kesejahteraan masyarakat.
Untuk menjaga keberlanjutan dan mendapatkan nilai ekonomi
dari KRPL, pemanfaatan pekarangan diintegrasikan dengan unit pengolahan dan
pemasaran produk.
Hal ini dimaksudkan sebagai upaya penyelamatan hasil yang
melimpah dan peningkatan nilai tambah produk.
Dampak yang diharapkan dari pengembangan KRPL antara
lain:
a.
Terpenuhinya kebutuhan
pangan dan gizi keluarga dan masyarakat melalui optimalisasi pemanfaatan
pekarangan secara lestari.
b.
Meningkatnya kemampuan
keluarga dan masyarakat dalam pemanfaatan pekarangan di perkotaan maupun perdesaan
untuk budidaya tanaman pangan, buah, sayuran dan tanaman obat keluarga (toga),
ternak dan ikan, serta pengolahan hasil dan limbah rumah tangga menjadi kompos.
c.
Terjaganya kelestarian
dan keberagaman sumber pangan lokal.
d.
Berkembangnya usaha
ekonomi produktif keluarga untuk menopang kesejahteraan keluarga dan
menciptakan lingkungan lestari dan sehat.
a.
Kelompok Lahan
Pekarangan di Kota
1)
Rumah Tipe 21 (luas
tanah sekitar 36 m2), tanpa halaman
2)
Rumah Tipe 36 (luas
tanah sekitar 72 m2), halaman sempit
3)
Rumah Tipe 45 (luas
tanah sekitar 90 m2), halaman sedang
4)
Rumah Tipe 54 (luas
tanah sekitar 120 m2), halaman luas
b.
Kelompok Lahan
Pekarangan di Desa
1)
Pekarangan Sangat Sempit
(tanpa halaman)
2)
Pekarangan sempit
(<120 m2)
3)
Pekarangan sedang
(120-400 m2)
4)
Pekarangan luas (>400
m2)
Simpul Sederhana
Jujur saja, masih banyak acuan hukum untuk
mendukung tulisan ini. Kendati hanya sebagai penggembira, berharap agar pembaca
semakin terbuka wawasannya. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar