netralitas kepala daerah
vs daya kriminal koalisi
Lawak politik 2018, dengan tema Koalisi Indonesia Kerja (KIK) menegaskan
bahwa kepala daerah akan menjadi bagian kekuatan pemenangan presiden yang masih
aktif. Ini bukan kejahatan politik. Cuma bentuk dasar dari cerdas ideologi yang
lebih mementingkan serakah politik. Siapa dulu pencetusnya.
Wajar, jika ASN dengan PNS-nya sebagai anak buah
gubernur, bupati maupun walikota, wajib taat perintah atasan. Siap diposisikan
sebagai apa saja. Asal loyal total. Bilamana dipandang perlu, maka dalil setor
upeti dengan basis senang sama senang.
Tambah runyam jika kawanan pembantu presiden dari
komponen pro-pemerintah. Ikut menjadi mesin pencetak suara hak pilih rakyat. Uji
coba kesetiaan, loaylitas, ketaatan, kepatuhan. Utamakan kewajiban sebagai abdi
negara, abdi pemerintah.
Iseng lihat kilas surat dari Komisi Aparatur Sipil
Negara (Indonesian Civil Service Commission), Nomor :
B-2900/KASN/11/2017, tertanggal Jakarta, 10 November 2017, hal Pengawasan
Netralitas Pegawai ASN pada Pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun 2018. Terasa ada
yang kurang sajèn. Ada sesuatu yang ditutupi dengan sengaja dan seksama.
Tepatnya, tidak berlaku pada pilpres 2019. Sederhana. Titik
Pegawai ASN yang adalah juga penyelenggara negara,
aparat birokrasi, abdi pemerintah sampai sebutan yang situasional, bagaimanapun
juga tak akan lepas dari intervensi politik. Terasa nyata dengan PP 11/2017
tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, sudah menyuratkan dengan nyata dan
benderang di Pasal 1 ayat 1 :
Pasal 1
Dalam Peraturan
Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
1.
Manajemen Pegawai Negeri Sipil
adalah pengelolaan pegawai negeri sipil untuk menghasilkan pegawai negeri sipil
yang profesional, memiliki nilai dasar, etika profesi, bebas dari intervensi
politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Penjelasan tentang “bebas dari intervensi
politik” tak dijelaskan dalam PP dimaksud. Artinya, sudah rahasia umum. Sesuai
pasal tak tertulis ‘tahu sama tahu’. Kebijakan pemerintah daerah tak bisa
dipolitisir.
Secara awam bin dawam, rakyat gaham bahwa ‘kejahatan politik’ bisa melekat
pada bab, pasal di UU partai politik, UU pesta demokrasi, UU wakil rakyat dan
wakil daerah, UU kepala daerah, UU presiden dan wakil presiden, UU pemerintahan
daerah. Kurang apa lagi kawan.
Rakyat Nusantara yang terbiasa antar periode mengkencangkan ikat pinggang. Karena
memang itu bisa dan kebiasaannya. Dibebani atau diimbangi
dengan kendorkan saraf politik. Jangan terkontaminasi aroma irama politik “manusia
yang sedang sekarat”.
Tak perlu pakai asas curiga binti
syakwasangka. Efek domino revolusi mental mampu memperpanjang menu politik Orde
Lama bertajuk ‘nasakom’ bebas blusukan. Disesuaikan dengan tuntutan zaman. Pokoké menang, mbuh carané piyé mbokdé paklik, dudu urusanku. Politik menjadi panglima sekaligus agama bumi. Rebut dan raih kursi
kekuasaan, dengan aneka modus, reka rekayasa, aksi manipulasi secara
konstitusional. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar